Resensi Kumpulan Puisi: Air Kata-kata Sindhunata
Penggemar puisi tidak sebanyak penggemar novel. Salah satu alasannya, puisi banyak menggunakan metafora dan bahasa kiasan. Memang saat ini sudah banyak puisi yang menggunakan bahasa lugas, sehari-hari dan tidak terlalu terpaku pada rima. Namun, baik puisi klasik maupun puisi modern sama-sama menyimpan misteri dan imaji yang bebas diapresiasi, hanya bergantung mana yang mudah diapresiasi.
Kumpulan puisi Sindhunata misalnya. Ia banyak bermain-main dengan pilihan kata dan struktur puisi yang kadang tak biasa, ala puisi modern. Dalam mengekspresikan kegundahan atau pikirannya, ia seolah merasa kosakata bahasa Indonesia tidak cukup, sehingga ia menggunakan bahasa Jawa. Bukan bahasa Jawa kromo inggil, melainkan bahasa Jawa ngoko sehingga mudah dipahami segala kalangan. Dan puisi ini semakin menarik oleh ilustrasi menawan hasil kolaborasi berbagai seniman. Para perupa tersebut di antaranya Djokopekik, Hermanu, Sigit Santosa, dan Sekar Jatiningrum
Total 71 puisi dalam buku ini dimana beberapa di antaranya saling berkaitan atau satu topik. Puisi dibuka oleh Oh Tulkiyem Ayu yang menceritakan wanita desa sederhana penjual kue jemblem, kue dari singkong parut yang diisi gula merah dan berasa manis. Dilanjutkan dengan puisi bertajuk Cintamu Sepahit Topi Miring yang sudah dimusikalisasi. Puisi ini mengisahkan sosok Ranto Gudel yang suka minum-minum.
Air Kata-kata menampilkan suka duka dalam memperingati kematian. Jika umumnya pelayat menaburkan bunga, di puisi ini pelayat menuangkan air keras karena Mbak Koen, yang baru meninggal, juga suka minum-minum. Berikut cuplikan puisi Air Kata-kata.
Esok harinya Mbah Koen menarik gerobak sampah
Diselempangkannya tali gerobak ke punggungnya
Belum bertolak gerobaknya, dadanya sakit mengaduh:
Aduh-aduh dadaku, jeritnya
Tak selang berapa lama Mbah Koen dijemput
air kata-kata, pulang ke alam baka
Misa requiem di rumahnya
teman-teman Mbah Koen datang melawat
tanpa membawa bunga duka
Mereka hanya membawa air kata-kata
Dipersembahkannya korban air kata-kata
harum mewangi mengepul jadi dupa
Membumbung tinggi dupa air kata-kata
disambut ribuan bidadari bermahkota daun ketela
Sambil menengak air kata-kata
teman-teman Mbah Koen berpelukan mesra
Kata mereka, kita berteman sudah lama
Tangis dan duka bercampur dalam gelak dan tawa
Tak jelas lagi mana kematian yang sedih
mana kehidupan yang gembira
mana kepergian yang perih
mana kebersamaan yang bahagia:
Mbah koen, kau mati tapi kau hidup
kau pergi tapi kau tinggal bersama kami:
dalam air kata-kata
Puisi Wak Duljangkep adalah salah satu puisi yang saya sukai. Tentang seseorang yang memiliki makna nama lahirnya untuk melengkapi agar semuanya pas. Tentang keseimbangan alam dan juga keseimbangan akal budi manusia.
Meski hanya hamba, tua miskin tak berguna
Tanpa aku hidup tidak akan pas, karena tidak lengkap
… Ilmuku Wak Duljangkep, artinya
Samarlah yang ingin kuajarkan
Semarlah yang ingin kunyatakan.
Ironi dalam kesehari-harian juga menjadi topik puisi Sindhunata seperti Jula-juli Zaman Edan, Balada Sebuah Bokong, dan Kutukan Asu. Pada Kutukan Asu, terdapat bagian cerita Menak Jingga dan Kencanawungu. Menak Jingga berhasil mengalahkan Kebo Marcuet, Bupati Lumajang, yang memberontak pada Majapahit. Ia seharusnya menikah dengan Kencanawungu. Namun puteri menolak karena wajah Menak Jingga rusak ketika berkelahi dan wajahnya jadi menyerupai anjing.Menak Jingga yang sedih dan kemudian kalah oleh Damarwulan kemudian dihibur jika ia lebih baik menjadi asu daripada menjadi manusia yang berkelakuan kotor.
Masih puluhan lagi puisinya, yang mudah dipahami dan perlu dibaca berulang kali untuk mengetahui makna tersirat di dalam rangkaian kata tersebut.
Saya sudah mengenal Sindhunata lewat karya-karyanya yang diterbitkan oleh Kompas. Karya-karyanya sebagian besar adalah kumpulan kolomnya tentang perjuangan manusia dan kaum papa, seperti Segelas Beras untuk Berdua, Burung-burung di Bundaran HI, Dari Pulau Buru ke Venesia, dan sebagainya. Saya jadi menganggap sosok Sindhunata sangat dekat dengan permasalahan sosial dan sisi humanis.
Cover bukunya dan nama Sindhunata yang menarik perhatian saya untuk membeli buku ini di sebuah pameran buku. Ada sosok anjing yang naik di atas kepala manusia yang seolah-olah tenggelam oleh air. Dan ada bulan sabit yang menjadi arah anjing yang tengah menyalak. Hanya ada dua warna, putih dengan dominan warna hitam. Nampak klasik dan elegan.
Dari segi puisi, ini adalah jenis puisi modern, dimana Sindhunata tidak terlalu berpusing memikirkan rima dan memoles kata-katanya menjadi untaian kata berdiksi indah. Ia juga bermain-main dengan pengulangan kata, serta layout tulisan yang tidak selalu rata mendatar.
Proyek kerja sama penulis puisi dan seniman ini tidak main-main. Tambahan ilustrasinya makin memperjelas makna yang ingin ditekankan oleh Sindhunata. Juga menambah nilai estetika buku kumpulan puisi ini.
Detail Buku:
Judul Buku : Air Kata-kata
Penuli : Sindhunata
Penerbit : Galang Press
Genre : Puisi
Rating : 8/10




