Sepekan Bersama Nasi Goreng
Sepekan ini setiap kali makan, terselip menu nasi goreng. Entah saat makan siang atau saat makan malam. Namun nasi goreng ini tak selalu berhasil membuat sumringah, ada kalanya gagal hingga bikin sakit perut setelahnya.
Nasi goreng yang kusantap sebelum berangkat ke negeri gajah adalah nasi goreng gila kambing yang dijual di dekat rumah. Sedang ada promo sehingga harganya turun 40 persen. Lumayanlah, dengan harga 17-19 ribu aku bisa mendapatkan seporsi nasgor gila kambing dengan porsi yang lumayan besar. Bisa dimakan dua kali atau dua orang.
Isian nasi goreng gila ini beragam. Di dalam nasi goreng ada telur dadar, dari hijau, bakso, suwiran ayam, dan sosis. Karena namanya nasgor gila kambing maka juga ada potongan daging kambing yang mungil-mungil. Ya, meski sedikit dan agak alot, keberadaan daging kambing bikin nasi goreng jadi gurih.
Aku suka banget dengan nasgor gila kambing ini. Alhasil jika pekerjaan sedang banyak dan menguras tenaga, aku menghibur diri dengan menyantap nasgor gila kambing ini. Duh semoga promonya masih lama.
Nah, selama di Lampung aku juga kerap menyantap nasi goreng. Sayangnya belum ada nasgor yang berhasil membuatku tersenyum senang.
Nasgor pertama yang kusantap adalah nasgor sederhana di sekitaran Tanggamus. Waktu itu sekitar pukul sepuluh malam dan sudah banyak warung makan yang tutup. Kami pun kemudian singgah ke warung nasgor pinggir jalan.
Porsi nasgornya besar. Satu porsinya Rp13 ribuan. Bentuknya polosan jika telurnya dicampur. Bahkan ketika aku meminta tambahan sawi hijau pun, sayuran itu hampir tak nampak. Sepertinya hanya satu barang sawi dengan daun kecil yang digunakan. Sebagai pelengkap mereka tambahkan irisan mentimun dan tomat. Air putih bebas mengambil di meja.
Rasa nasgornya agak hambar. Pedasnya menggunakan lada, bukan cabe merah. Namun kesalahan fatal nasgor ini adalah menggunakan nasi pulen, bukan nasi perah. Alhasil seperti menyantap lontong, bukan nasgor. Selera makanku langsung lenyap. Aku akhirnya memesan telur dadar agar bisa menghabiskan setidaknya separuh porsinya.
Ketika di Liwa yang dingin, aku memesan nasi goreng ikan asin di kafe. Ketika nasgornya muncul, Lagi-lagi aku kecewa karena tak sesuai harapan. Ikan asinnya tak dicampur dengan nasi, melainkan dipisah. Jenis ikan asinnya juga renyah, jadinya teksturnya jadi berbeda.
Lagi-lagi nasgornya agak hambar, kurang berani di bumbu, sehingga ikan asin lumayan menambah rasa. Untungnya nasinya tidak pulen. Tapi entah kenapa setelah pulang dari tempat ini aku sakit perut hingga diare. Entah karena nasgornya atau karena makanan minuman lainnya.
Aku tak kapok makan nasi goreng. Sebenarnya karena tak banyak pilihan berhubung aku masih sakit perut. Kali ini kami makan di kafe Tanggamus.
Aku memesan nasgor spesial dengan harga seingatku Rp18 ribu. Tak ada yang istimewa sih, hanya nasi goreng dengan sosis dan telur mata sapi dan irisan mentimun.
Nasgornya standar, tapi lumayan masih ada rasanya dan nasinya juga pernah. Ya di antara pengalamanku menyantap nasi goreng di Lampung, ini yang paling mendingan. Sayangnya telur mata sapinya bagian kuning telurnya kurang matang, sehingga bikin tak nyaman.
Dan yang terakhir aku menyantap nasi goreng seafood di bandara Jakarta. Harganya lumayan mahal. Tapi karena lapar, ya sudah tak apa-apa.
Di dalam nasgor seafood ada udang, paprika, daun bawang, serta potongan bakso. Di pinggir piring ada irisan tomat, sawi, dan acar.
Rasanya enak, bumbunya berani meski agak keasinan. Adanya acar membuat aksi makan nasgor tidak bikin eneg. Irisan tomatnya juga membantu membilas lemak.
Sepertinya aku belum beruntung menemukan nasgor sedap di Lampung. Ya, meski sepekan bersama nasgor, aku ternyata belum jenuh.
