Membaca Jejak Langkah

Ini aksi nekat bulan ini, mungkin tahun ini. Sudah lama aku alami reading slump dan tengah berjuang mengatasinya. Namun, kali ini aku malah nekat meminjam buku karya Pak Pram berjudul Jejak Langka yang merupakan bagian dari Tetralogi Buru😁.
Jejak Langka adalah buku ketiga Tetralogi Buru setelah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Aku belum membaca buku kedua. Bumi Manusia hanya kupahami ceritanya lewat filmnya.
Tak apa-apa sesekali aku perlu melakukan hal yang tak biasa. Apalagi buku ini istimewa. Buku ini memperingati seabad Pram.
Pram adalah penulis produktif. Aku jatuh hati pada karyanya setelah baca Gadis Pantai, Arok Dedes, dan Panggil Aku Kartini Saja.
Dalam bagian pengantar dari Astuti Ananta Toer, aku suka nasihat Pram yang dikutip: “Kau boleh pandai setinggi langit, jika tidak menulis maka kau akan dilupakan oleh sejarah.”
Kutipan Pram yang digunakan sebagai pengantar dari Lentera Dipantara juga menarik: “Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan hukum. Tidak seperti di Hindia ini. Kata dongeng itu juga: negeri itu memasukkan, menjunjung, dan memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan.”
Oh iya di bagian pengantar ini aku bingung mengapa pakai ‘nasion’ dan ‘terskripta’ alih-alih ‘bangsa’ dan “tertulis/tercantum”
Bab I buku ini sepanjang 27 halaman. Dikisahkan Minke pergi dari Surabaya menuju Batavia untuk bersekolah kedokteran di Stovia. Rupanya ia mendapat sambutan tak menyenangkan ketika baru tiba.
Ia segera diminta mengubah baju ala Eropanya dan menggantinya dengan pakaian Jawa. Pakaian Jawa yang dimaksud itu destar, baju tutup, kain batik, dan tanpa pakai alas kaki sama sekali alias cakar ayam.
Di sini Minke mengamuk ketika kopernya ditendang dan dikerjain. Ia berhasil mengalahkan perundungnya dan punya kawan baru bernama Partotenojo.
Dalam bab awal ini yang menarik adalah bagaimana Pram membandingkan Surabaya dan Betawi pada masa itu. Surabaya ramai, kotor, dan hanya ada delman, sedangkan Betawi lebih sepi penduduknya, lebih bersih dan ada taman-taman, serta ada trem.
Setelah turun kapal, Minke menyusuri Betawi dari Ancol, ke Betawi Kotta, memasuki hutan dan rawa menuju Gambir. Era itu juga sudah ada Pasar Senen dan angkot menggunakan trem.
Sementara aku baca Jejak Langka sampai sini dulu. Selamat beristirahat.
