Serial Bung Pentas: Tidak Buntung Seperti Lapindo
Hari itu hari Minggu, namun Bung Pentas tidak berkumpul dengan keluarganya. Ia tengah berada di luar kota menjalankan tugas dinas. Pagi hari sebelum agenda rapat hari itu dimulai, Bung Pentas mengisi cangkirnya dengan kopi kental. Kemudian dihirupnya pelan-pelan sembari menonton tayangan berita pagi. Rupanya topik berita kali itu begitu menarik perhatian Bung Pentas. Beberapa kali ia nampak mengembuskan nafas panjang. Secangkir kopi di tangan kanan dan pisang goreng di tangan kirinya tidak dihiraukannya. Mulutnya berkomat-kamit.
Aksi Bung Pentas itu menarik perhatian Karjo, teman dari divisi lain, yang baru menyelesaikan mandi paginya. Sambil mencomot sebuah pisang goreng dari meja makan, dihampirinya rekan dinasnya itu.
’’Ada berita apa Tas, kok kelihatannya serius banget?’’Mendengar pertanyaan Karjo, Bung Pentas tersentak. Spontan, pisang gorengnya yang tinggal separuh terlempar dan jatuh di samping sandal kirinya. ’’Eh Kamu Karjo, ngagetin aja. Aku lagi nonton berita yang mengulas masalah Lapindo.’’’’Lagi-lagi Lapindo, sudah hampir setahun ya lumpurnya tidak berhenti-berhenti. Kasihan warga yang terkena semburan lumpur. Lalu berita barunya apa Tas?’’ selidik Karjo penuh ingin tahu.
Seraya membetulkan posisi duduknya Bung Pentas menghabiskan kopinya. Ia berdehem-dehem sejenak sebelum memulai pidato paginya. ’’Akhirnya setelah menunggu sekian lama, beberapa warga yang terkena semburan mendapat ganti rugi,’’ tuturnya.
’’Wah, pastinya para korban Lapindo sekarang bisa bernafas lega. Lalu berapa banyak ganti rugi tiap keluarga?’’
’’Yang kutahu dari berita di koran dan televisi, sawah dihargai Rp 120 ribu tiap 1 meter persegi. Jadi petani yang memiliki 1 hektar sawah mendapat ganti rugi Rp 1,2 miliar,’’ papar Bung Pentas dengan penuh semangat.’’Wow itu duit semua. Kamu nggak mengada-ada?’’ kata Karjo ragu-ragu.
Setengah jengkel karena informasinya diragukan, Bung Pentas mengulurkan setumpuk koran yang dihimpunnya sejak beberapa hari lalu. ’’Nih baca sendiri beritanya,’’ ujarnya ketus.
Karjo kemudian asyik membaca berita seputar ganti rugi korban Lapindo. ’’Bayangkan Tas, kalau ada 10 petani saja dengan luas sawah masing-masing 1 hektar total ganti rugi jadi Rp 12 miliar. Belum lagi dengan ganti rugi rumah, ganti gagal panen…wah bisa-bisa puluhan triliun,’’ ujar Karjo sambil menggeleng-gelengkan kepala.
’’Itu belum ditambahi dengan tuntutan dari industri sekitar Lapindo yang terpaksa tutup, belum lagi tuntutan dari warga yang terpaksa di PHK karena pabriknya tertutup. Belum lagi bila ada warga Pasuruan atau Malang yang melayangkan tuntutan karena susah berangkat kerja,’’ papar Bung Pentas berapi-api.
’’Kalau Lapindo tidak punya uang sebesar itu, lantas siapa yang membayar ya?’’’’Itulah yang membuatku tidak habis pikir. Semburan lumpur seharusnya sudah diantisipasi industri pertambangan. Apalagi pertambangan yang berada di sekitar lokasi pemukiman warga. Risikonya pasti berkali-kali lipat. Tidak mungkin perusahaan sebesar Lapindo tidak memiliki tim studi kelayakan atau unit manajemen risiko.’’
’’Seumpama ada tim studi kelayakan apakah bencana itu bisa diantisipasi Tas?’’
’’Ya kalau tidak bisa diatasi minimal bisa diprediksi. Jadi bisa diukur berapa dana yang perlu disiapkan bila terjadi kejadian terburuk,’’ jelas Bung Pentas penuh semangat.
’’Iya ya. Kalau sudah ada kejadian seperti ini perusahaan tidak hanya menanggung kerugian yang amat besar. Si pemilik perusahaan bisa diberi sanksi pidana, Benar bukan?!’’Bung Pentas hanya mengangkat bahu.
’’Seberapa sulit sih kita memprediksikan hal-hal di luar jangkauan kita?’’ tanya Karjo.’’Tim studi kelayakan mungkin merupakan gabungan dari para ahli di bidangnya masing-masing. Kalau seperti kasus Lapindo bisa dari ahli berlatar belakang ekonomi, geologi, pertambangan, hukum dan sosial.’’
’’Memangnya setiap perusahaan perlu memiliki tim ini atau hanya perusahaan atau industri besar saja Tas?’’’’Wah aku bukan pemegang keputusan Jo, itu sih tergantung kebijakan perusahaan. Mungkin di suatu perusahaan tidak ada tim khusus tetapi mereka sudah merancang dan memprediksikan risiko itu di tiap bagiannya. Menurutku yang penting bagaimana caranya suatu industri itu bisa survive ketika menghadapi risiko atau kejadian yang terburuk,’’ jelas Bung Pentas panjang lebar.
Seolah-olah kehilangan energi setelah berdiskusi, Bung Pentas mengeloyor pergi menuju meja makan dan menghabiskan lima potong pisang goreng. Sementara Karjo masih terdiam di depan televisi memikirkan uang bertriliun-triliun yang harus diberikan kepada korban Lapindo. [dimuat di Media TASPEN 81/2007]

wah seperti tokoh Saridin-nya Cak Nun cuma beda permasalahan yang dibahas