Warisan Budaya Tiga Etnis

Masjid Ceng Ho, Surabaya
Surabaya menyimpan banyak sejarah, termasuk keberadaan bangunan yang terpengaruh arsitektur Belanda, Tiongkok dan Arab. Tidak heran bila kota ini memenangkan penghargaan “Most Attractive Neighbourhood ”.
Surabaya memang tidak mempunyai banyak obyek wisata seperti Bali. Namun, kota terbesar kedua di Indonesia ini memiliki wisata budaya yang unik dan jarang ditemui di kota-kota lain. Warisan dari tiga budaya asing, Arab, Tiongkok dan Belanda.
Bila hendak mengenal budaya Arab, Anda bisa melancong ke Surabaya bagian utara. Tepatnya, di kawasan Ampel. Nama ini tentu tidak asing bagi penganut agama Islam atau bagi mereka yang pernah mempelajari kisah raja-raja di daratan Jawa. Ampel nama daerah yang menjadi tempat penyiaran agama Islam oleh Raden Rahmat, salah satu Wali Songo. Ia lalu mendapat julukan Sunan Ampel, sesuai dengan lokasi tempat ia menyiarkan agama Islam.

Makam Sunan Ampel
Di kawasan Ampel ini terdapat masjid besar yang juga menyandang nama Ampel. Masjid Ampel buka selama 24 jam dan selalu ramai dikunjungi pengunjung, baik yang hendak menunaikan ibadah sholat, hendak berziarah ke makam Sunan Ampel dan keluarga, maupun yang ingin belajar bahasa Arab.
Menuju masjid ini, pengunjung harus melewati lorong panjang. Lorong ini dipenuhi stan-stan yang menawarkan produk-produk seperti tasbih, mukena, peci, sajadah, abaya, kerudung. Adapula yang menawarkan aneka parfum, beragam minyak, kurma dan kue-kue khas Arab. Tempat ini pas sekali dikunjungi bila Anda ingin mencicipi kuliner Arab, termasuk nasi kebuli yang gurih.
Beralih dari budaya Arab, di berbagai sudut kota Surabaya masih tersimpan warisan budaya Tiongkok. Klenteng Kong Co Kok Tin Cun Ong, misalnya. Klenteng yang terletak di Jalan Dukuh ini tidak pernah sepi dari pengunjung, terutama warga keturunan Tionghoa. Klenteng ini merupakan tempat beribadah penganut Buddha, dengan pengaruh Konfusian dan Taoisme.
Beralih dari klenteng, ada pula masjid yang mayoritas pengurus dan jamaahnya berasal dari etnis Tionghoa. Tempat ibadah yang didirikan tahun 2003 itu bernama Masjid Muhammad Cheng Hoo. Pengaruh budaya Tiongkok ini terlihat pada arsitektur dan pemilihan warna merah hijau yang mendominasi bangunan. Di sebelah kanan bangunan terdapat relief dan patung perahu yang melukiskan perjalanan Cheng Hoo di tanah air untuk syiar agama Islam.
Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Muhammad Cheng Hoo beberapa kali digunakan untuk menggelar prosesi pernikahan. Suatu kali bahkan ada pernikahan yang semuanya menggunakan budaya leluhur mereka, termasuk pengunaan bahasa mandarin.
Di dekat Jembatan Merah atau kawasan Kembang Jepun, terdapat Pecinan atau China Town. Bila malam hari kawasan ini diubah menjadi pusat jajanan bernuansa Tiongkok. Lampion-lampion merah akan menyambut pengunjung di pintu gerbang naga diiringi alunan lagu-lagu mandarin. Pusat kuliner ini populer dengan nama Kya Kya Kembang Jepun. Pada tahun 2005-2006 tempat ini menjadi salah satu favorit bagi warga yang ingin menyantap makan malam bernuansa oriental. Sayangnya, popularitas pusat kuliner ini tidak tahan lama, kalah bersaing dengan pusat kuliner baru yang memang banyak ditemui di kota metropolis ini.

Hotel Majapahit
Nah, di dekat Jembatan Merah ini juga banyak ditemui bangunan-bangunan bekas kolonial. Sayangnya keberadaaannya kurang terawat. Satu bangunan warisan kolonial yang masih berdiri megah yaitu Orange Hotel yang didirikan tahun 1910. Hotel ini pada masa penjajahan Jepang berubah nama menjadi Hotel Yamato. Lalu kepemilikannya digantikan Sekutu saat terjadi agresi militer Belanda. Di hotel inilah terjadi suatu peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia. Bendera merah putih biru yang berkibar di menara hotel disobek hingga yang tersisa bagian merah dan putih saja. Sejak saat itu selama beberapa bulan hotel itu menyandang nama Hotel Merdeka, sebelum berganti-ganti nama lagi hingga terakhir menyandang nama Hotel Majapahit. [pus/ari]

numpang baca.. thanks infonya bermanfaat. lanjut non..
Sama-sama
Klo ke Semarang harus mampir nih….