Jangan Jajan Sembarangan di Samarinda
Di Surabaya kita bisa menyantapnya dengan modal Rp 3.500 – 4 ribu. Sedangkan di Jakarta, penjual rata-rata memasang tarif Rp 5 ribu. Sementara di ibu kota Kalimantan Timur, kita harus merogoh kocek minimal Rp 8 ribu. Bila disandingkan dengan minuman, biaya yang dikeluarkan lebih mahal lagi.
Mahalnya biaya makan diibaratkan Dani (nama samaran) bak kalkulator rusak. ’’Penjual terkesan seenaknya menekan-nekan tombol kalkulator dan angka yang keluar kerap mengagetkan pembeli,’’ papar Dani yang berprofesi sebagai reporter salah satu stasiun televisi.
Saran Lisa, karyawati sebuah bank, bila membeli makanan sebaiknya di depot atau warung yang mencantumkan harga makanan. ’’Biar bisa memperkirakan biaya yang akan dikeluarkan,’’ nasihatnya. Selain itu, tambah Lisa, jangan segan untuk menanyakan porsi makanan. ’’Ukuran satu porsi bebek atau ayam bakar bisa jauh di luar bayangan kita.
Bila tidak ingin kecewa lebih baik bertanya dulu,’’ lanjutnya. Untuk menekan biaya konsumsi, para pegawai bersedia berbelanja ke pasar untuk menyiapkan makanan sendiri. ’’Saya dan beberapa pegawai lainnya rutin berbelanja beras, sayur, dan lauk untuk dimasak sendiri,’’ aku Suhartono.
Biaya hidup yang mahal bukan dari biaya makan belaka. Biaya kontrak rumah, transportasi dan sekolah termasuk tinggi. Kontrak rumah untuk tipe 70 mencapai Rp 12 juta/tahun. Biaya masuk SMP negeri rata-rata 5-7 juta dan biaya masuk SD di daerah pinggiran minimal Rp 500 ribu.
Sedangkan biaya naik taxi (sebutan untuk angkutan umum) berkisar Rp 2.500-Rp 7 ribu. ’’Untuk menghemat warga akhirnya memilih motor sebagai alat transportasi,’’ kata Siam Niau. [pus]
