Gadis Kecil di Puing-puing Kebakaran

Terdengar bunyi klik di ponselku, pertanda sebuah pesan masuk. Sebelum aku membukanya, telepon berdering. Nomor Tomi.
’’Re…..kamu segera meluncur ke sini. Ada berita menarik…..’’
Sebelum aku sempat mengiyakan, telepon di seberang telah ditutup. Aku membaca sekilas sms-nya yang dikirim semenit lalu. Aku terhenyak ketika membacanya, pasar itu lagi-lagi terbakar. Segera aku mengenakan helmku dan melajukan motorku dengan kecepatan tinggi.
Meski masih 100 meter dari lokasi kejadian, bumbungan asap dengan kobaran api merah itu telah terlihat. Semakin mendekati lokasi terdengar suara teriakan-teriakan massa yang panik. Penduduk sekitar merubungi TKP alias tempat kejadian perkara, merasa penasaran. Namun di antara ratusan massa itu, hanya sedikit yang membantu, menyemprot air, mengambil ember berisi air atau sekedar menenangkan penjual yang histeris. Lainnya hanya melongo dan mengomentari kejadian.
Segera aku turun dari kendaraan. Motorku kuparkir di tempat yang lumayan sepi. Tanpa merasa was-was aku tinggalkan motorku yang telah kurantai. Kukenakan topiku dan kuikatkan jaketku di punggungku. Meski jauh dari sumber kebakaran, hawa panas cukup menyengat. Aku segera menghambur ke kerumunan massa. Wartawan-wartawan media lain telah berdatangan. Dari sudut mataku kulihat Tomi asyik memotret. Dia tidak merasa terganggu dengan keributan dan kepanikan massa.
Entah kenapa aku merasa miris. Kejadian ini berlangsung belum satu jam namun api terlalu cepat menjalar. Entah sudah berapa stan yang terbakar.
Beberapa penjual dan pemilik stan bolak-balik masuk ke dalam, tidak mengacuhkan peringatan warga. Mereka mencoba menyelamatkan barang dagangan mereka.
Akhirnya mobil pemadam kebakaran itu tiba. Mereka segera memasang selang dan menyemprot kobaran api. Para pemilik stan yang masih berlalu lalang di dalam pasar diusirnya menjauh.
Segera aku kumpulkan informasi. Beberapa orang menyalahkan Abi, pemilik toko elektronik di lantai dua. Mereka menduga kebakaran itu terjadi karena hubungan arus pendek. Abi menyangkal karena ia dan stafnya selalu berhati-hati dengan peralatan di dalam tokonya. Sementara, polisi belum bisa memastikan karena api belum selesai dipadamkan.
Seraya menunggu api padam, aku mewawancarai ketua himpunan pedagang pasar. Dia begitu gusar dan curiga terbakarnya pasar ini disengaja. ’’Tidak mungkin kejadian ini terjadi dalam waktu dekat tanpa ada kesengajaan,’’ ujarnya sengit.
Setelah berhasil mengumpulkan banyak informasi aku bergabung dengan Indra dan Rani, wartawan dari media lain. ’’Wah lumayan juga ada kejadian ini, lagi seret berita nih,’’ kata Indra enteng.
’’Mungkin malah bisa jadi headline’’, timpal Rani
Aku memilih diam dan kemudian meninggalkan mereka dengan alasan mencari Tomi.
Sejam berlalu dengan kehadiran pemadam kebakaran, namun api masih berkobar di beberapa titik.
Aku trenyuh melihat puluhan pedagang yang memandang lesu lokasi mereka berjualan sekian tahun. Beberapa di antara mereka termangu-mangu melihat stan mereka terbakar habis tanpa ada barang dagangan yang tersisa.
Tomi mendekatiku. Ia mengajakku beranjak dari situ. ’’Aku sudah dapat gambar bagus. Yuk istirahat ke tempat teman-teman mangkal, ’’ ajaknya.
Ajakannya kutolak aku masih ingin tetap di sini. Tomi pun berlalu pergi. Para reporter lain pun satu persatu mulai beranjak.
Minatku tertumbuk ke seorang gadis berusia sekitar 10 tahun. Bajunya masih bau sangit. Ia terlihat kebingungan. Ketika kusapa ia mengaku kebingungan mencari ibunya. ’’Ibu tadi masih ke dalam, mengangkuti barang,’’ ucapnya polos.
Dari kisahnya, aku tahu ibunya hanya penunggu dagangan yang upahnya hanya ribuan rupiah perhari. Meski masih kecil ia tahu ibunya ketakutan menghadapi majikannya. Ia juga bingung karena mereka berdua biasa bermalam di dalam stan.
Aku ingat aku masih punya dua roti di dalam ranselku. Mungkin karena tegang ia merasa lapar. Tebakanku tepat, ia mengunyah makanan itu dengan rakus. Kuangsurkan sebotol air mineral dan ia tidak menolaknya.
Kebetulan Pak Sasra, ketua himpunan pedagang pasar, mengenali gadis cilik itu. ’’Intan sama Pakdhe (paman) dulu saja. Nanti Pakdhe suruh Pak Tamim mencari Ibu Intan,’’ bujuknya. Gadis kecil itu menurut.
Dua jam telah berlalu, kobaran api di beberapa tempat masih terlihat. Tapi di gedung utama kobaran api telah susut menyisakan pemandangan kelabu. Kupingku terasa sesak oleh tangis histeris dan teriakan kekecewaan pedagang. Mungkin terpengaruh oleh perasaan, air mataku mulai menetes.
Kulajukan motorku ke sebuah industri makanan jadi. Pemiliknya, Ricky adalah kekasihku. Ia menyambut kedatanganku dengan gembira. Ketika aku duduk, Pak Rukmono, staf Ricky, telah membawakan beberapa penganan lezat dan segelas besar jus jambu.
Ricky telah mengenalku sejak aku masih kuliah. Dan ia langsung menyadari bekas air mataku. ’’Kenapa Re?’’ Aku langsung menghambur ke pundaknya dan ia memelukku sambil membelai rambutku.
’’Mengapa si Mas orang-orang miskin yang kerap menjadi korban?’’
Dia mengangkat bahunya. ’’Ceritakan semua penderitaan mereka di dalam tulisanmu. Bila semua pejabat mengetahui penderitaan mereka, akan ada sebuah solusi,’’ nasihatnya.
Aku lega mendengar kata-katanya. Aku merasa beruntung memiliki Ricky. Dia selalu ada dan mendukungku. Dengan dia risauku bisa berkurang.
’’Aku balik dulu ya Mas,’’ pamitku. Dia mengantarkanku ke tempat motorku kuparkir. Setelah celingukan dan merasa tidak orang, ia mengecup pipiku. ’’Nanti Mas maen ke kantormu selepas deadline’’.
Dugaan Indra dan Rani benar. Para redaktur memilihnya menjadi headline halaman nasional. ’’Koran lain pasti memilihnya menjadi headline,’’ ujar Pak Conio, redaktur pelaksana, kepada redaktur halaman nasional.
Ia lalu menyuruhku segera mengetik berita dan membuat berita feature untuk halaman depan dan berita di halaman kota.
Selepas deadline, seperti hari Rabu biasanya, kami berkumpul untuk mendiskusikan topik khusus untuk minggu berikutnya. Aku mengusulkan untuk membuat laporan khusus tentang kebakaran pasar yang terjadi di kota.
’’Jangan hanya di kota ini, perluas scope-nya menjadi nasional,’’ perintah Pak Daud, salah satu redaktur. Aku terhenyak, apalagi Pak Daud memintaku menyelesaikannya besok.
Setelah rapat usai, Pak Daud menghampiriku. ’’Jangan kuatir Re, Pak Conio telah menghubungi wartawan kita di kota-kota lain untuk mengumpulkan bahan. Mereka akan mengirimkannya paling lambat besok pukul 19.00,’’ ujarnya panjang lebar.
Ponselku berdering. Ricky telah datang, ia menungguku di kantin. Aku memintanya untuk menemuiku di ruanganku.
Tidak lama kemudian Riky telah tiba di ruanganku. Satpam di tempatku dan rekan-rekan kerjaku telah mengenalnya karena beberapa kali menemaniku di ruangan.
Ia membawakanku martabak yang masih hangat. Ia tahu aku belum sempat makan malam. Sembari melumuri martabak dengan sambal tomat, aku bercerita tentang tugasku. Ia hanya mengangguk dan menggodaku dengan memijat pundakku.
Ditemani Ricky, aku mengumpulkan artikel tentang kebakaran di database berita kantor. Kucoba olah data itu menjadi grafik. Ternyata dari tahun ke tahun selalu terjadi kebakaran pasar. Motif dan pelakunya masih tanda tanya. Aku menggarisbawahinya untuk kutanyakan ke kepolisian. Lalu aku mencatat orang-orang yang patut menjadi narasumberku temasuk DPR dan ketua pedagang pasar.
Aku melirik Ricky, seperti ia lelah dan mengantuk. Jam telah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku merapikan barangku dan mengajak Ricky pulang.
’’Aku kuatir dengan kesehatanmu Re. Kamu sering pulang larut malam dan makanmu kerap terlambat’’. Aku menjawab sekenanya kalau itu sudah risiko pekerjaanku.
’’Cari pekerjaan lain Re, aku tidak bisa sering-sering menemanimu,’’ ucapnya yang membuatku sengit. Selama dua tahun kami pacaran, kami tidak pernah bertengkar. ’’Aku juga tidak memintamu untuk menemaniku,’’ jawabku ketus.
Ia menemaniku hingga aku tiba di kos. Tanpa pamit, ia melajukan motornya ke rumahnya. Aku gelisah, aku tidak suka bila ia mengacuhkanku seperti itu.
Keesokan harinya aku terlambat bangun. Biasanya tepat pukul lima pagi, Ricky membangunkanku untuk sholat Subuh. Aduh, sepertinya ia masih marah kepadaku, gerutuku.
Aku segera mandi dan berangkat menemui satu persatu nara sumberku. Kesulitan mulai muncul ketika aku mengumpulkan data penyebab kebakaran. Banyak di antara kasus kebakaran yang mengalami jalan buntu, tidak ada bukti ataupun pelakunya.
Sebelum aku kembali ke kantorku, aku mampir ke lokasi kebakaran kemarin. Di sana-sini banyak bangunan hangus terbakar. Aku mendengar kasak-kusuk dalam beberapa hari ke depan akan berlangsung demo, para pedagang menuntut tempat penampungan sementara.
Mataku kembali pedas mendengar sebagian pedagang tidak punya tempat tinggal dan terpaksa tidur beratapkan langit. Pemerintah kota belum bisa memberikan bantuan yang berarti bagi mereka. Aku mencari-cari Intan namun tidak berhasil menemukannya.
Matahari tenggelam aku baru tiba di kantor. Dari meja fax dan e-mail masih beberapa wartawan yang mengumpulkan berita. Aku mulai panik. Redaktur lapsus memintaku menyelesaikan sebelum pukul 21.00. Dengan sedikit gemetar karena panik aku mulai menghubungi satu persatu wartawan daerah. Beberapa di antara masih ada di lapangan mengumpulkan informasi.
Aku mulai kelimpungan. Kris, desainer grafis meminta data. Aku meminta waktu setengah jam lagi untuk menyelesaikannya.
Mendekati pukul 21.00 semua informasi baru terkumpul. Jemariku dengan gemetar memasukkkan data dan memadukan informasi itu. Baru pukul 21. 20 aku berhasil merampungkannya. Pak Daud memarahiku karena tidak berhasil memenuhi tenggat waktu. Aku memohon maaf karena telah berupaya sekuat tenaga untuk memenuhi deadline.
’’Masih untung yang ngedit Pak Ruslan. Dia cepat ngeditnya. Kamu harus tahu lapsus harus cetak pukul 22.00. Terlambat sedikit akan mengganggu jadwal lainnya,’’ nasihatnya panjang lebar.
Hari ini dunia terasa kelabu. Mendapat cacian dan tidak ada sms penghibur atau telepon dari Ricky. Aku mencoba menelponnya, tapi Ricky tidak mengangkatnya.
Baru dua hari kemudian aku menemukan Intan. Ibunya belum berhasil ditemukan. Entah, dimana ia berada. Ia nampak muram dan baru tersenyum ketika berjumpa denganku. Pak Sasra bilang, Intan dua hari ini mengigau memanggil ibunya.
Hingga empat hari kemudian, belum ditemukan bukti penyebab kebakaran dan pelakunya. Dugaan korsleting pupus karena tidak ada bukti mengarah ke situ. Beberapa orang curiga antek-antek pemilik hipermarket yang akan dibangun di seberang yang melakukannya. Lagi-lagi tidak ada bukti.
Sementara redakturku telah bosan dengan berita dengan kebakaran. Ada berita baru tentang gempa bumi untuk halaman nasional dan tentang penertiban denda pemberian sedekah ke pengemis yang lebih menarik dikupas.
Aku merenung usahaku mengupas tuntas kebakaran tidak berhasil. Harapanku tidak muluk-muluk, aku hanya ingin pemerintah serius menangani kejadian yang merugikan pedagang itu.
Sementara benakku kembali ke Intan. Dia mungkin kehilangan ibunya. Dan mungkin bukan hanya dia, ada beberapa anak lain yang bernasib serupa.
Tiba-tiba ada sms dari Ricky. Dia meminta maaf atas perlakuannya dan akan menjemputku nanti malam. Dia akan membelikanku nasi goreng kambing.
Aku tersenyum, duniaku kembali cerah. Aku berencana membujuk Ricky untuk mengajak Intan bekerja di sana. Dan aku yakin Ricky akan menerima ideku. Bahkan, ia mungkin mau untuk menyekolahkannya.
Ketika kukemukakan ideku, Ricky setuju. Berdua kami bertemu Intan, tubuhnya semakin lemah. ’’Kami belum berhasil menemukan Ibu Intan,’’ kata Pak Sasra.
Mendengar niat kami berdua untuk menyekolahkan Intan, ia setuju. Intan tertawa gembira mendengar ia akan kembali bersekolah.
Mulai minggu depan aku akan mendiami rumah kontrakan baru yang akan kudiami bersama Intan. Mungkin tahun depan rumah kami akan bertambah satu penghuni baru. Ricky tertawa mendengar khayalanku.
