Cerdik Atur Duit: #Siapapun Bisa Membeli Tanah
Dulu saya menganggap pemilik tanah atau siapapun yang memiliki tanah adalah orang kaya. Hal ini terbukti dengan harga tanah per meter di Jakarta dan di kota besar lainnya yang rata-rata di atas Rp 2 juta/meter. Namun, rupanya masih ada jalan bagi pemiliki modal kecil yang ingin memiliki investasi tanah.
Saya sendiri hanya karyawan dengan gaji pas-pasan. Namun, melihat harga tanah yang terus naik dan adanya kegelisahan karena semakin banyaknya pemilik tanah dari warga asing, saya pun mulai melirik jenis investasi ini. Dan rupanya, gayung pun bersambut. Ada pengusaha yang melayani pembelian tanah dengan hanya mengangsur ratusan ribu setiap bulannya.
Niat saya untuk membeli tanah dengan cicilan Rp 300 ribu/bulan ini rupanya ditentang oleh suami. Namun, setelah melihat nominalnya yang tidak seberapa, maka ia pun mengijinkan. Saya sendiri pun awalnya kurang yakin, apakah tidak sia-sia saya mencicil selama tiga tahun untuk tanah yang ada di pulau seberang? Tapi saya terus berkeyakinan, siapa tahu saya nantinya bisa membangun rumah di tanah tersebut sehingga bisa menjadi rumah peristirahatan ketika berkunjung ke daerah tersebut.
Ketika ada tawaran investasi tanah berikutnya dengan nominal yang cukup besar, saya mulai ragu-ragu apakah saya akan mengambil kavling tersebut. Apalagi saat ini kami baru mengambil rumah dengan angsuran yang cukup besar. Namun, lagi-lagi saya berkeyakinan bahwa investasi tanah tidak akan pernah rugi, apalagi setelah saya melakukan survei dan menilai prospek lokasi tersebut dalam beberapa tahun mendatang. Saya pun mantap mengambil dua kavling sekaligus dengan waktu angsuran tak kurang dari dua tahun.
Suami saya yang tahu bahwa saya hanya mengambil durasi singkat, yaitu 15 bulan pun terkejut, dan agak was-was apakah kami sanggup melakukannya. Akhirnya kami sepakat, saya membayar angsuran tanah, dan suami setia mencicil rumah yang berperiode lima tahun. Ketika seorang teman mengetahui bahwa kami memiliki angsuran dengan nominal besar dalam periode pinjaman yang kurang dari lima tahun, ia geleng-geleng kepala dan menyebut kami terlalu menyiksa diri. Tapi, siapa sih yang tahu batas kemampuannya, kecuali ia mencobanya?!
Awalnya memang berat untuk menyesuaikan gaji kami yang pas-pasan dengan angsuran yang besar. Saya mengurangi jatah makan di luar dan hampir setiap hari memasak di rumah. Dan rupanya, setelah sekian bulan kami menjalani penghematan, kami pun terbiasa. Anehnya, jika dulu kami menganggap hal yang kami lakukan bakal merusak pondasi keuangan rupanya salah. Kami bahkan masih bisa menabung Rp 100-200 ribu/bulan dalam bentuk reksadana.
Dari pengalaman inilah saya berkesimpulan bahwa kemampuan menabung dan berinvestasi seseorang bukan diukur dari gajinya. Jika memang perilaku seseorang boros, maka nilai gaji seberapapun tidak akan cukup.
Kami memiliki teman dengan gaji yang lebih tinggi. Namun, setiap bulan ia mengeluhkan pengeluarannya sebesar Rp 4 juta yang harus dikeluarkannya setiap bulan selama lebih dari 10 tahun. Sementara kami berdua memiliki total tanggungan lebih dari nilai tersebut dengan periode waktu yang lebih pendek. Dan, syukurlah dalam empat bulan ke depan angsuran kavling tanah tersebut akan lunas, dan kami berencana untuk menanaminya dengan pohon buah.


betul betul, kalo gk nyicil gabisa punya rumah, punya tanah buat pegawai kayak aku gini puss, toh nantinya pengeluaran menyesuaikan dgn duit yg ada toh 😉