Naik Kendaraan Umum Lebih Banyak Dukanya

dari jakartakita.com oleh rio yotto

Bepergian di Jakarta sebagian besar kulakukan dengan kendaraan umum. Hampir segala jenis mode angkutan umum seperti mikrolet, bus tigaperempat (kopaja/metromini/kopami/PPD/kowanbisata), bus, kereta api, colt/omprengan, trans Jakarta, bajai, ojek, taksi, hingga ojek sepeda pernah kucicipi. Bahkan mungkin jika ada daerah yang transportasinya berupa ojek perahu seperti yang ada di sudut Surabaya bakal akan kucobai. Kesan transportasi umum ehem sebagian besar tidak praktis, memakan waktu lama, dan tidak aman.

1. Asap Rokok
Cobaan nomor satu di angkutan umum adalah asap rokok. Meskipun sudah ada peraturan daerah yang melarang aktivitas rokok di kendaraan umum, masih banyak penumpang dan sopir yang merokok. Terutama jika naik bus tigaperempat, omprengan, bajai, dan metromini. Tapi jangan salah, ada beberapa sopir bus patas AC yang juga merokok. Alhasil, saya yang kebagian duduk di bangku belakang pun terpaksa menghisap asap beracun ini karena busnya menggunakan AC. Dan yang lebih menyebalkan demi kelancaran ia merokok, si sopir kemudian mematikan AC di bus. Pengalaman menyebalkan juga kualami di omprengan, jika biasanya aku berhasil untuk membujuk sopir/penumpang agar mematikan rokok, di omprengan aku malah disuruh turun. Ckckckck.

2. Ngetem
Satu hal yang membuat naik kendaraan umum tidak bisa diandalkan dalam segi waktu tempuh adalah kebiasaan sopir untuk ngetem atau menunggu penumpang. Ngetem selama perjalanan ini bisa terjadi beberapa kali dalam perjalanan, bisa 5-10 menit dan bisa juga setengah jam. Terkadang jika kesal menunggu angkutan ini ngetem, saya pun keluar dari angkot dan memilih angkutan lain.

3. Jadwal Kedatangan yang Tidak Jelas
Dua faktor ngetem dan jadwal kedatangan yang tidak jelas ini membuat naik angkutan umum sangat sulit diprediksikan waktu tempuhnya. Meski jalur trans Jakarta sekarang steril namun menunggu trans Jakarta bisa sampai 30 menit- 1 jam sendiri, begitu pula dengan bus patas. Beberapa kali saya menunggu bus patas menuju Depok/Cikarang dan sebaliknya hingga hampir dua jam sendiri. Alhasil jika saya ke pusat kota dari Pasar Rebo harus mengalokasikan waktu 2,5-3 jam sendiri untuk perjalanan. Saya tiba di tujuan sudah lesu.

4. Penumpang yang Padat
Memang angkutan umum saat jam berangkat dan pulang kerja sangat penuh. Jangankan tempat duduk, kaitan tangan di trans Jakarta pun sudah tak tersisa, sehingga saya mengandalkan kaki dan tubuh saya agar tidak terdorong saat bus mengerem. Pernah suatu waktu ketika naik trans Jakarta dari Sunter menuju Cililitan, besi untuk menyangga kaitan tangan pun runtuh karena tidak kuat menopang puluhan tangan penumpang. Jika penumpang padat tapi jalanan lancar saya masih bertahan, tapi jika jalanan pun macet, maka punggung pun menjadi pegal.

5. Pengamen yang Sangar
Di mikrolet dan bus tigaperempat pengamen kerap kali hilir mudik. Ada beberapa di antaranya yang menghibur, namun banyak juga yang seperti tukang palak. Pengamen yang seram ini biasanya muncul di kawasan Poncol, area dekat perlintasan kereta api di Senen dan juga di angkutan dari Kampung Melayu menuju Cililitan. Ada kalanya mereka memaki-maki atau mengancam jika penumpang tidak memberi uang.

6. Kurang Aman
Copet sering merajalela di angkutan umum, baik jenis mikrolet, bus tigaperempat, maupun di Trans Jakarta. Saya beberapa kali menjumpai rombongan copet di kopaja P20 dan metromini 07, juga di bus trans Jakarta dari Senen menuju Pulo Gadung. Target utama mereka adalah dompet dan ponsel. Dulu ketika naik P20 saya berkeringat dingin karena rupanya penumpang sebelah saya adalah kepala copet. Saya hampir tidak berani bergerak dan berharap tidak ada bunyi dering atau getar dari ponsel. Sedangkan di trans Jakarta, saya bertemu dengan rombongan copet yang masih remaja. Lagi-lagi yang membuat saya dag dig dug rombongan copet itu turun di halte yang sama dengan sama, yakni di Pasar Cempaka Putih. Bus Trans Jakarta juga beberapa kali kebakaran. Saya pernah naik trans menuju Blok M dan setelah halte Bundaran HI kendaraan sudah berasap sehingga penumpang dievakuasi di halte Tosari. Di lain waktu ada penumpang yang tangannya berdarah karena terjepit pintu. Rupanya ia didorong-dorong penumpang lain dan belum berhasil memasukkan semua tangannya. Baru lima halte kemudian, si petugas membawakan kotak P3K dan si penumpang tersebut nampak sangat kesakitan.

7. Kurang Nyaman
Meskipun mendapat tempat duduk, sering kali tempat duduk di angkutan umum sudah kotor dan busanya sudah nongol. Bahkan sering kali kita dipaksa untuk berjejalan karena si sopir terus memasukkan penumpang. Sudah susah bergerak, jalanan macet, dan si sopir merokok..wah-wah-wah lengkaplah penderitaan.

Lalu masih adakah kegembiraan selama naik kendaraan umum. Ya, tentu saja saat bus trans Jakarta lowong perjalanan akan cukup menyenangkan. Apalagi jika si sopir memperdengarkan lagu-lagu yang menarik. Naik bus patas dengan pengamen biola atau pengamen yang sopan juga cukup menghibur. Naik mikrolet juga cukup asyik jika sopirnya tidak merokok. Sambil menunggu waktu kita bisa membaca buku atau membalas pesan-pesan di ponsel.

Keterangan foto:
foto mikrolet depok-lenteng agung, diambil dari jakartakita.com oleh Sdr Rio Yotto

~ oleh dewipuspasari pada Januari 22, 2014.

4 Tanggapan to “Naik Kendaraan Umum Lebih Banyak Dukanya”

  1. […] dia adalah petualang sejati dan suka banget naik angkot ke mana-mana bilang kalo di Jakarta naik kendaraan umum sekarang ini lebih banyak dukanya. Tapi kami sih insyaAllah sebisa mungkin pake kendaraan umum kalo emang memungkinkan. Pernah […]

    • Mudah-mudahan angkutan umum mendatang lebih manusiawi dan sopir/pengelolanya mengutamakan keselamatan dan kenyamanan penumpangnya tidak seperti sekarang yang ‘sok jual mahal’ dan seolah-olah penumpang yang butuh sehingga penumpang bisa diturunkan di sembarang tempat (dulu naik kopaja/metro mini sering disuruh oper) dan diperlakukan semena-mena.

  2. Hehehe memang lebih nyaman naik kendaraan sendiri Dan di Jakarta, kecuali mode transportasinya sudah seperti di Singapura. Wah kalau itu sih aku juga senang dan ikhlas naik MRT atau bus kotanya. Waktu masih tinggal di Malang atau di Surabaya aku ga banyak protes naik angkutan umum, mungkin karena tidak begitu macet ya.

  3. There you say it Pus. Hahaha. Meligitimasi keputusan naik mobil. 😀
    Etapi gw mimpi loh Jakarta punya mass transport yang bagus banget

Tinggalkan Balasan ke #25 Jakarta (Masih) Macet | danikurniawan Batalkan balasan