Sampah Oh Sampah

sampah depok

Sudah sejak pergantian tahun ini pengambilan sampah di kawasan kami tinggal tidak berjalan lancar seperti tahun sebelumnya. Jika biasanya petugas sampah mengambil sampah warga tiga kali dalam seminggu, namun akhir-akhir ini bisa hanya sekali dan bahkan pernah baru diambil dalam dua minggu. Rupanya bukan petugas sampah yang lalai. Tempat pembuangan sementara yang biasanya dituju oleh petugas akhir-akhir ini cepat sekali penuh. Sementara TPS lain sudah menjadi lahan perumahan atau RW lainnya. Kami baru mengerti DKI Jakarta sudah kewalahan menangani sampah warga.

Tepatnya bulan Januari lalu ketika saya menjadi tuan rumah acara arisan yang diadakan tiap bulan. Hampir setiap ibu yang datang berkeluh kesah kepada ibu RT dan ibu RW. Gara-gara sampah tidak diangkut selama dua minggu, pemandangan tumpukan sampah dan bau yang tidak sedap membuat setiap gang nampak kumuh dari yang biasanya rapi dan cukup bersih.

Karena saya masih berdua, tempat sampah di rumah kami masih menampung sampah-sampah kami yang umumnya sisa makanan. Berbeda dengan tetangga di kanan kiri yang anggota rumahnya lebih dari empat orang. Sampah mereka telah meluber di jalanan. Bahkan belatung pun mulai bermunculan di jalan. Karena kami sebagai tetangga jijik dengan pemandangan tersebut, Bu A memaksa asisten rumah tangga pemilik sampah tersebut untuk menyiramnya dengan air panas dan merapikannya agar jalanan di gang tidak nampak kumuh.

Saya lalu berhitung-hitung. Umumnya sampah domestik saya dalam seminggu untuk kondisi normal adalah 2-3 kantong kresek besar. Sisa potongan sayur, daun-daun yang rontok saya pisahkan untuk saya buat kompos. Sedangkan sampah seperti botol kemasan saya sendirikan di kantong sendiri. Dulu saya buat menjadi pot-pot tanaman. Tapi karena sekarang pot saya sudah belasan dan tanahnya sudah habis maka botol-botol dan kertas itu saya kumpulkan agar diambil oleh pemulung.

Sementara masih ada tetangga yang tidak memisahkan sampah sisa makanan dan sampah kemasan sehingga tempat sampahnya cepat penuh. Dalam sehari anggap saja ada satu kresek besar sampah untuk tiap KK, maka dalam seminggu sudah ada tujuh kresek. Tong sampah RT kami umumnya menampung 4-5 kantong kresek besar. Jadi jika sampah dalam seminggu tidak diambil maka sudah ada 2 kantong kresek yang berkeliaran di jalanan. Belum lagi dua minggu. Dan ada sekitar 30 kepala keluarga di RT kami. Karena petugas sampah menangani satu RW yang terdiri dari delapan RT, jadi ada 2x7x30x8=3.360 kantong kresek. Wah-wah-wah.

Saya masih ingat awal-awal pindah ke daerah ini si petugas hanya satu orang dan mengenakan alat pengangkut sampah yang masih tradisional yakni ditarik. Baru kemudian setelah kas RW terkumpul banyak akhirnya si petugas bertambah satu dan berkeliling dengan pick up tertutup. Lebih manusiawi dan lebih sehat.

Ketika sampah tersebut tidak terambil, si petugas sampah menjadi sasaran kemarahan. Namun, si petugas berkelit. Ia mengaku tidak bisa membuang sampah sebelumnya, bahkan sampah tersebut masih nangkring di depan rumahnya. TPS yang kami sewa sangat penuh dan bahkan ijin sewa kami akan dicabut karena dirasa sudah melebihi kapasitas. Tetangga di gang lain banyak yang akhirnya mengangkut sampahnya sendiri dan membuangnya di TPS yang tidak jauh dari kawasan kami. Eh rupanya aksi tersebut dianggap illegal karena TPS tersebut bukan wilayah kami.

Ketua RW kami berinisiatif untuk menyewa lahan kosong untuk TPS. Tapi kami masih ragu apakah penduduk sekitar tidak keberatan jika kami membebani mereka dengan sampah yang kotor dan bebauan yang tidak menarik.

Kapan Jakarta Bersih dan Hijau?
Sampah sepertinya hal sepele. Waktu masih kanak-kanak di Malang saya hanya berpikir rumah saya bersih dengan tiap hari membuang sampah dan diangkut oleh petugas yang mengenakan seragam kuning sehingga disebut pasukan kuning. Saya tidak mencari tahu kemana mereka mengangkut sampah dan bagaimana sampah tersebut berakhir. Saya hanya tahu sampah di tong sudah tidak ada dan rumah bersih.

Waktu di Surabaya saya baru mulai memikirkan sampah. Ya, di dekat perkampungan penduduk dan kos mahasiswa di wilayah Keputih ada satu penampungan sampah besar. Jika saya kebetulan sedang bertandang ke kos teman di daerah tersebut rasanya saya sangat mual. Apalagi jika musim hujan. Baunya dahsyat sangat memualkan.

Kami pernah hunting foto di tempat penampungan sampah tersebut. Ada juga warga yang betah dan bekerja di sana, bahkan ada juga anak-anak yang mencoba mengais rejeki dari sampah. Ketika sampai di kos, bau sampah itu rasanya masih melekat di tubuh dan pakaian hingga saya segera mandi.

Ketika Kompas TV menayangkan acara dimana seorang petugas sampah Inggris magang ke petugas sampah di Jakarta Pusat dan menyaksikan sendiri Bantar Gebang, saya langsung mual karena mendadak ingat dengan bau sampah di Keputih. Kasihan sekali warga yang tinggal di sana dan mereka yang terpaksa bekerja di sana. Sampah tertimbun seperti bukit dan rasanya tidak pernah berkurang, bahkan terus bertambah. Sampai kapan tempat tersebut bisa menampung sampah?

Dulu saya menganggap biaya pengelolaan sampah diambil dari pajak yang kami bayar dan wajib kami laporkan tiap tahunnya. Eh rupanya tidak termasuk. Tiap bulan kami wajib setor dana untuk petugas sampah. Dan di daerah kami, sampah ini tidak dikelola oleh Kelurahan, namun oleh perumahan atau masing-masing RW. Tong sampah termasuk mobil pengangkut sampah adalah swadaya dari warga, bukan dari pemerintah.

Saya heran kenapa pemerintah DKI tidak belajar dari negara tetangga untuk mengelola sampah. Bukannya DPR ataupun pegawai pemerintah sering keluyuran ke luar negeri untuk studi banding, kenapa tidak sekalian belajar untuk mengelola sampah.

taman2

Saya ingat di Surabaya pernah diadakan program Green and Clean (tahun 2005) dan ada lombanya. Saya pernah meliput aksi hijau di sebuah kampung dimana setiap warganya memiliki komposter untuk membuat kompos dari dedaunan dan potongan sayur. Mereka juga rajin berkebun seperti cabe, tomat, dan aneka tanaman obat, serta menjual hasil tanaman mereka dalam berbagai bentuk, ada yang telah dikeringkan, diolah jadi bubuk, dibuat jamu dan sebagainya. Sedangkan sampah plastik diolah jadi berbagai kerajinan seperti tas. Uang hasil penjualan tersebut lumayan, selain untuk kas RT/RW juga menjadi pemasukan ibu-ibu yang aktif terlibat. Beberapa waktu lalu sebuah stasiun TV juga menyiarkan kegiatan serupa di Depok. Bahkan setiap warga bisa menabung dengan menyetorkan sampah. Unik dan inspiratif.

 

Seandainya setiap kampung ataupun perumahan di Jakarta menerapkan kampung hijau dan bijak dalam mengelola sampah, mungkin produksi sampah di DKI akan stabil atau bisa jadi menurun. Pemerintah DKI mulailah mengelola sampah secara modern. Sisihkan juga dana dari pendapatan daerah untuk pengadaan komposter dan mesin sederhana untuk pembuat kompos bagi tiap kampung. Serta, tolong sediakan petugas yang ahli mengelola sampah kompos dan kreatif dalam mengelola sampah plastik/kaleng agar Jakarta bersih dan hijau.

Camera 360

Ket: Foto atas (bak sampah) dari depok.go.id

~ oleh dewipuspasari pada Maret 10, 2014.

4 Tanggapan to “Sampah Oh Sampah”

  1. Jadi keinget film wall e Pus baca postingan ini..

Tinggalkan Balasan ke dewipuspasari Batalkan balasan