Netralitas Media dan Berita yang Berimbang

media

Sejak pemilihan legislatif dan kini menjelang pemilihan RI 1 saya makin enggan menonton televisi berita. Media online yang mengulas pemberitaan pemilu juga seringkali saya baca tajuknya, saya enggan membacanya. Rasanya kecewa, sangat kecewa, melihat nilai jurnalisme yang semakin dikerdilkan. Kemana netralitas media yang dulu digaungkan dan diperjuangkan?

Saya terkenang pada awal-awal saya bergabung dengan sebuah media besar di Jawa Timur. Selama hampir sebulan kami digambleng dengan cara menulis dan cara bersikap sebagai pencari berita yang baik. Selepas menulis berita hingga hampir tengah malam, berita yang telah kami tulis dievaluasi oleh jurnalis senior yang kami panggil suhu.

Ia selalu menekankan independensi jurnalistik. Menulislah berita tanpa ditekan oleh suatu kepentingan. Misalkan ada suatu konferensi pers, jangan menulis mentah-mentah dari konferensi pers. Ambillah dari sudut pandang yang netral. Atau berilah pandangan dari pihak lain sehingga berita tersebut berimbang. Misalkan jika misalkan ada kasus kerusuhan, jangan hanya menuliskan laporan polisi, tapi cobalah gali informasi dari saksi mata.

Jangan mau didikte oleh kepentingan pihak lain. Jangan menulis mentah-mentah dari press release dan jangan mau berita diarahkan oleh orang yang berkepentingan. Jika ada konferensi pers, datanglah paling awal atau pulanglah paling akhir untuk mendapatkan sudut pandang dan informasi yang lebih banyak sehingga tidak bergantung pada press release.

Lantas apa kaitannya dengan media saat ini? Tidak perlu saya memberitahukan nama-nama medianya, Anda sekalian lebih pandai menebak, mana yang sangat memihak Capres A dan mana yang membela Capres B. Dan beritanya sangat intimidatif.  Jika ada cacat di Capres B media-media pemihak A seperti berpesta pora, sedangkan jika cacat itu di pihaknya mereka sepakat untuk menutup celah pemberitaan. Begitu pula sebaliknya. Saya tidak tahu apakah jurnalis yang medianya tidak netral itu memiliki beban moral? Terkadang saya berpikir-pikir jurnalis cantik di TV A sedang menangis karena merasa melanggar norma-norma yang dianutnya.

Di media tempat saya pernah bekerja, atribut politik sangat dilarang. Jika ada wartawan terendus menjadi tim sukses ataupun menjadi anggota partai politik tertentu, wajib mengundurkan diri. Begitu pula jika ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif atau eksekutif, wajib hukumnya untuk resign. Dan hal ini pernah dicontohkan oleh seorang pimred yang mengundurkan diri karena mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah. Tapi entahlah apakah ketentuan tersebut masih berlaku atau tidak.

Saya merasa sangat kecewa ketika membaca pernyataan pemimpin media besar jika media berhak untuk memihak. Padahal oh padahal saya dulu mengaguminya dan ketika ia sambang ke kantor redaksi kami dan memberikan wejangan, saya sangat antusias.

Menjadi jurnalis bukan hanya pandai mengolah kata, ia memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kebenaran kepada masyarakat. Jika kebenaran itu ditutup-tutupi maka kemana masyarakat mencari tahu. Sudahlah, pemilu itu hanya semusim, tidak layak sebuah media mengorbankan independensinya dengan taruhan dijauhi oleh masyarakat ke depannya karena sudah mendapat cap corong A atau B.

Lantas kemana organisasi pers seperti Persatuan Wartawan Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen melihat fenomena media saat ini. Tolonglah rekan-rekan jurnalis, kembalilah bersikap netral dan beritakan fakta apa adanya.

Keterangan Gambar: diambil dari: kapsel-fikom-untar-gjl2013-kelasc6.blogspot.com

 

~ oleh dewipuspasari pada Juni 26, 2014.

Tinggalkan komentar