Mendung Belum Berlalu

Gambar ini ambil di edupedia

Gambar ini ambil di edupedia

Mendekati penghujung tahun, Jakarta makin kerap diguyur limpahan air dari langit. Rupanya benar kata orang Jawa, Desember itu gedhe-gedhene sumber, alias bulan musim hujan. hampir tiap hari langit dipoles oleh warna kelabu. Cocok dengan suasana sebagian orang yang tengah mendung atau bermuram durja.

Terpaan kenaikan harga bahan bakar minyak dan baru-baru ini krisis global rupanya makin memberatkan rakyat. Janji pemerintah bila sektor riil, termasuk kehidupan rakyat tidak akan terpengaruh krisis global ternyata tidak terbukti. Rakyat semakin susah bernafas. Termasuk aku, keluh Bung Pentas dalam hati.

Bung Pentas selama ini dikenal sebagai sosok yang optimis. Namun, kali ini ia mengeluh dan murung. Benar-benar tidak seperti biasanya. Ia juga sedih,kali ini tidak bisa menyemangati rekan-rekannya yang tengah mengkuatirkan kondisi ekonominya. Ia hanya bisa mendengar keluhan-keluhan itu sambil mengomel dalam hati, mengapa krisis tiada henti-hentinya menerjang negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini.

Keluhan dan kekecewaan orang-orang itu juga didengarnya saat ini ketika ia hendak melepaskan beban pekerjaannya. Ya, Bung Pentas sedang terjebak hujan deras yang sekonyong-konyong tiba. Beruntung ia masih mendapatkan bangku di halte. Tidak sampai lima menit kemudian, halte itu penuh sesak. Ia berhimpitan dengan mereka-mereka yang setia sebagai pengguna jasa angkutan umum dan pengendara sepeda motor yang terpaksa memarkirkan kendaraannya karena tidak membawa jas hujan.

Hawa menjadi panas. Bau parfum dan keringat yang bercampur baur membuat Bung Pentas menjadi semakin pusing. Sementara angkutan yang biasa membawa Bung Pentas ke rumah tidak kunjung datang. Taxi-taxi pun selalu terisi oleh penumpang. Mau tidak mau Bung pentas harus menunggu dan mengeluh.

Seraya mengisi waktu, Bung Pentas mengedarkan pandangannya ke orang-orang yang berteduh bersamanya. Rata-rata orang kantoran seperti dirinya. Ada pula yang sepertinya pengangguran, wiraswasta dan paruh baya. Hampir semuanya berwajah muram, meski ada satu dua yang tertawa-tawa asyik menelpon dengan teman atau pacarnya.

Pandangannya lalu terpaku pada bapak berusia paruh baya yang nampak kelelahan berdiri. Ia menengok kanan kiri sambil sesekali melirik bangku, siapa tahu ada bangku kosong. Ketika pandangan mereka beradu, Bung Pentas tersenyum lalu memberi isyarat agar bapak berusia sekitar 60 tahun itu menggantikan tempatnya. Tawaran itu diterima dengan suka hati. Ia bergegas datang, menyenggol kanan kirinya sambil berkali-kali meminta maaf. Bung Pentas lalu berdiri dan menyilahkan bapak itu duduk. Rasa terima kasih yang terpancar dari mata bapak itu seolah-olah menyejukkan jiwa Bung Pentas yang tadinya terasa panas seperti hawa halte itu.

“Terima kasih, Nak,” ucapnya.

Setelah menempatkan pantatnya di bangku halte, ia menyalami Bung Pentas dan memperkenalkan dirinya. Suhadi, namanya. Mereka lalu berbasa-basi, berbicara tentang hujan,banjir yang mulai mengancam Jakarta dan tarif angkutan yang tidak berubah meski harga bensin turun beberapa ratus rupiah.

Meski Bung Pentas tidak seperti biasanya, kemampuannya sebagai dokter jiwa tidak pudar. Suhadi lalu tanpa sungkan menceritakan kemalangan keluarganya yang menimpanya baru-baru ini. Dua anaknya yang telah berkeluarga terimbas krisis global.

Anak sulungnya termasuk di antara sekian buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Pabrik garmen yang telah memperkerjakannya bertahun-tahun terpaksa mengurangi separuh karyawannya. ‘’Alasannya klise, mengurangi biaya produksi,’’ kata Suhadi.

Padahal Anwar, nama anaknya, pegawai yang tidak neko-neko. Ia termasuk pegawai yang rajin dan jarang membolos. Karena itu Anwar kaget ketika namanya termasuk dalam daftar karyawan yang dipecat. Istrinya lebih terkejut lagi mendengar kabar itu. Ia bingung, bagaimana dengan biaya sekolah kedua anaknya yang telah masuk sekolah dasar dan biaya-biaya lainnya, seperti listrik dan air minum.

Anak keduanya juga bermasalah. Namun, bukan masalah pekerjaan. Melainkan, bunga bank. Irwan memiliki hutang di sebuah bank swasta. Gara-gara krisis global, cicilan yang ditanggungnya membengkak cukup besar. Ia pontang-panting mencukupkan gajinya dengan pengeluaran dan hutang yang ia tanggung. “Wah nasib anak-anak Bapak itu seperti aku, bunga KPR-ku naik dan si keponakan juga korban PHK,” ujar Bung Pentas dalam hati.

Melihat nasib anak-anaknya itu Suhadi jadi prihatin. Ia mengunjungi anaknya satu persatu minggu lalu dan menghiburnya. Ia merasa trenyuh melihat Anwar yang nampak sangat terpukul. Karena itu ia memberanikan diri menemui mantan rekan kerjanya yang ia dengar sukses menjadi wirausaha hingga berhasil mengekspor produksinya. Mungkin temannya mau memperkerjakan si Anwar. Namun keberuntungan belum di pihaknya. Si wirausaha itu juga terimbas oleh penurunan nilai rupiah. Usahanya babak belur.

“Kapan mendung ini berlalu,” ucapnya getir. Bung Pentas melihat ke langit yang mulai gelap dan hujan yang tidak kunjung berhenti. Ia tidak bisa menjawab kata-kata Pak Suhadi.

~ oleh dewipuspasari pada Desember 9, 2008.

2 Tanggapan to “Mendung Belum Berlalu”

  1. Mendung tak berarti hujan kan…. :mrgreen:
    Salam kenal….

Tinggalkan Balasan ke mamas86 Batalkan balasan