Menuju Kompleks Situs Kerajaan Terbesar Nusantara

 

Candi Bajang Ratu

Majapahit. Nama kerajaan ini kerap dikisahkan oleh guruku ketika masih menginjak di bangku SD. Kerajaan Hindu terbesar di Jawa bahkan di seluruh penjuru nusantara dengan mahapatihnya yang terkenal, Gadjahmada. Dari dahulu aku menyimpan asa untuk menapak tilas bekas-bekas kejayaannya. Melihat langsung bukti sejarah kerajaan yang disegani oleh para negara tetangga.

Ide untuk mengunjungi situs Majapahit di Trowulan, Mojokerto, datang begitu saja, ketika ada kesempatan untuk berlibur di kota Malang. Malang-Mojokerto nampaknya tidak terlampau jauh, apalagi ada undangan pernikahan teman di kawasan Prigen.

Untunglah Ovi juga pecinta sejarah dan Pak Urip yang mengemudikan mobil beragama Hindu sehingga ia bersemangat untuk mengantar kami ke Trowulan. Berbekal rute perjalanan dari Google Map, kami  pun melanjutkan perjalanan dari tempat pernikahan teman di Prigen menuju Mojokerto.

Mobil jeep kami melaju lereng yang mendaki dan kadang menikung tajam. Jalanan di daerah Trawas saat itu nampak lengang. Kami berpapasan dengan mobil bisa dihitung dengan jari, bahkan beberapa lama kami memacu mobil sendirian. Hingga hampir satu jam jalanan masih sepi.

Setelah beberapa lama kami kesulitan mencocokkan jalan dengan petunjuk arah di Google. Jalanan di depan kami tidak bernama. Akhirnya Ovi turun di sebuah bengkel dan menanyakan arah menuju Trowulan. Rupanya salah satu pekerja cukup mengenal arah ke situs Majapahit. Ia mengambarkan peta dan memberikan petunjuk ke Ovi.

Setelah menemui bengkel, kami masih melewati jalanan lengang dengan payung pohon-pohon tinggi. Akhirnya kami tidak lagi melewati hutan, namun rumah-rumah penduduk. Diam-diam aku merasa lega. Agak seram jika kami tersesat di hutan.

Rupanya kami payah dalam menerjemahkan peta. Setelah 30 menit berkendara dari bengkel, kami mentok dalam mengartikan peta. Naasnya, hujan deras tiba-tiba mengguyur dan mengaburkan jarak pandang kami. Kami menyerah dan Ovi pun bersukarela untuk kembali menanyakan jalan.

Petunjuk arah dari penduduk tersebut kurang jelas. Namun, kami nekat menerjang hujan karena jam telah menunjukkan pukul 14.00, kami takut kemalaman tiba di sana.

Tidak berapa lama hujan pun berhenti dan kami telah berada di jalanan ramai. Lalu kami bersantap siang di sebuah rumah makan lesehan. Ovi yang lelah langsung cerah ketika membaca kepiting dalam menu makanan. Kami memesan kepiting lada hitam, ayam bakar saus madu, dan teh hijau. Badan yang lelah kembali bersemangat.

Rupanya perjuangan kami belum berakhir. Di dalam kota kami tidak menemukan petunjuk yang jelas menuju Trowulan. Beberapa penduduk juga tidak dapat menunjukkan lokasi reruntuhan tersebut.

Setelah hampir menyerah, kami membaca plang arah menuju Trowulan. Namun, kami berdua, aku dan Ovi berbantahan karena petunjuk arah dari orang terakhir yang kami tanyai menunjukkan arah sebaliknya. Ovi menyerah dan kami melanjutkan perjalanan mengikuti plang petunjuk arah.

Saya agak menyesal bertengkar dengan Ovi karena setelah 15 menit berkendara tidak ada lagi petunjuk arah. Ketika jalanan semakin tidak menentu, kami sepakat untuk terakhir kalinya bertanya, jika gagal kami akan pulang karena jam telah menunjukkan pukul 15 lewat.

Untunglah dua orang tua di hadapan kami mengetahui letak situs tersebut. Kami menanyakan beberapa kali untuk memastikan. “Kalau Mas tanya Trowulan ya Cuma daerah itu, tidak ada lagi daerah namanya Trowulan”. Yes…akhirnya ada petunjuk jelas.

Tujuan kami mulai terarah setelah beberapa blok kemudian kami menemui plang nama suatu candi dan ke arah kiri-lah Museum Mojopahit berada. Di ujung gang lima menit dari mulut gang kami menemui sebuah waduk yang bernama Kolam Segaran. Wah kami segera melirik kanan kiri karena dari petunjuk yang kami dengar, Museum itu berada di dekatnya.  Ya kami melihat bangunan dan akhirnya setelah tiga jam lebih berkendara dari Prigen kami pun tiba di Museum Majapahit.

Ehm rupanya kami tidak beruntung, satpam yang menyambut kami mengatakan Museum Majapahit baru saja ditutup. saat ini jarum jam telah menunjukkan pukul 15.40, sedangkan museum tutup pukul 15.30. Mungkin karena melihat muka kami yang lelah dan murung, ia lalu mengijinkan kami berkeliling ke Pendopo.

Museum Majapahit

Kompleks Museum Mojopahit yang Kaya Peninggalan Bersejarah

Di pendopo banyak tersebar barang-barang bersejarah. Ada banyak arca, prasasti, dan batu bata berelief yang belum disusun. Ketika menjepret beberapa arca saya tertegun ketika membaca larangan memotret. Saya lalu menurunkan kamera. Rupanya, kejadian pencurian barang bersejarah di Surakarta yang menyebabkan pengelola museum berhati-hati. Arca dan benda bersejarah bisa ditiru dan sulit dibedakan oleh orang awam, tanpa mengetahui usia batuan atau bahan pembuatnya. “Kalau Mbak foto bersama arca itu tidak apa-apa, jadinya arca itu detailnya tidak terlihat jelas,’’ ujar Doni, satpam, yang memberitahu kami dengan sopan. Betul juga sih larangannya. Dulu saya pernah baca ada kasus pencurian lukisan ternama yang baru ketahuan setelah bertahun-tahun. Pasalnya, petugas tidak menyadari lukisan asli milik museum tersebut diganti dengan lukisan tiruan yang secara sepintas memang sangat mirip. Saya lalu memasang watermark di foto yang saya jepret agar detailnya tidak tertangkap jelas oleh oknum peniru.

Di pendopo yang cukup luas tersebut ada lebih dari seratus benda-benda bersejarah. Tidak cukup waktu satu jam jika kami mengamatinya satu-persatu.

Reruntuhan PemukimanDari beberapa keterangan yang ada di pendopo, kami dapat mengetahui bahwa seni kerajinan pada zaman majapahit cukup maju selain bercocok tanam. Candi-candi yang dibangun di zaman Majapahit juga sangat banyak, bertebaran di kawasan Trowulan, Tretes, Gunung Penanggungan, Kediri, hingga Tulungagung. Candi ini merupakan tempat bersembahyang ada juga yang digunakan sebagai tempat menaruh abu pembakaran jenazah raja-raja Majapahit, serta tempat penyucian.

Di Kompleks museum yang dibuka sejak pertengahan tahun 80-an ini juga ada bekas pemukiman para bangsawan. Telah ditemukan tiga bekas pemukiman, yang diduga milik kaum bangsawan. Lokasi pemukiman ini kini diberi atap untuk melindunginya dari hujan. Diduga masih banyak pemukiman yang ada di kompleks museum ini. Di sini juga ada bekas sumur.

Makam Puteri Campa dan Damarwulan

Setelah puas berkeliling pendopo dan melihat-lihat sisa pemukiman dari tangga, kami melanjutkan perjalanan ke Makam Puteri Campa melewati Kolam Segaran. Kolam ini, kata Doni dulunya sering digunakan sebagai tempat raja menjamu para tamunya. Apabila jamuan telah selesai, piring emas dan peralatan makan lainnya yang terbuat dari emas dibuang ke kolam untuk menunjukkan kekayaan dan kebesaran Raja Majapahit. Namun, peralatan ini kemudian diambil lagi oleh para pelayan setelah tamu pulang.Kompleks Makam Puteri Campa

Makam Puteri Campa  ternyata memasuki pemukiman penduduk. Bangunannya masih terawat. Di sana ada tempat tetirahan, makam keluarga Puteri Campa dan abdi kinasih. Sedangkan makam Puteri Campa ada di belakang bersama suaminya, Damarwulan. Ketika si jurukunci menyebut nama Damarwulan saya keheranan. Lho..itu kan tokoh dongeng, cetusku yang membuatnya tertawa geli.

Rupanya Puteri Campa sebelum menjadi istri Damarwulan telah berdiam di Medan sebagai istri salah seorang pembesar kerajaan. Setelah kerajaan tersebut ditaklukan oleh Majapahit, maka Puteri Campa tersebut menjadi istri Raja Majapahit yang bergelar Brawijaya. Puteri Campa yang merupakan selir raja inilah yang mengandung Raden Patah, raja pertama Kerajaan Demak.

Kisah Damarwulan ini mengusik hati saya. Ketika SMU, teater kami pernah mementaskan kisah Damarwulan. Dikisahkan Damarwulan yang telah beristrikan Anjasmara berhasil mengalahkan Menakjinggo sehingga dinobatkan menjadi Raja Majapahit dan menikah dengan Ratu Kenconowungu. Kekalahan Menakjinggo ini berkat petunjuk dua istri Menakjinggo yang kemudian juga menjadi istri Damarwulan.

Saya masih beranggapan kisah Damarwulan adalah kisah dongeng sehingga masih terheran-heran ketika mendengar dari kisah juru kunci bahwa Damarwulan adalah Brawijaya terakhir yang ditundukkan oleh anaknya sendiri, Raden Patah. Dari kisah sejarah yang masih saya kenang, Prabu Brawijaya kecewa oleh penaklukan anaknya, dan bertitah bahwa tidak akan ada lagi kerajaan sebesar Majapahit dan Beliau bertitah pada anaknya untuk membiarkannya tetap memeluk agama Hindu.

Menurut juru kunci, Puteri Campa dan suaminya beragama Islam. Karena pikiran telah bercampur aduk antara khayalan dan realita, saya meragukan kebenaran cerita si juru kunci. Melihat perdebatan kami, Ovi lalu mengingatkan waktu kami yang tinggal sedikit. Jam telah menunjukkan pukul 5 kurang sedikit, jam lima kami harus pulang.

Cerita Wabah Tikus

Persinggahan berikutnya adalah Candi Bajang Ratu. Candi ini terbuat dari Bata Merah bukan batu kali seperti peninggalan kerajaan Singasari. Candi bata merah ini mengingatkan saya pada candi-candi di Jambi. Bedanya, bata merah ini ukurannya lebih besar dan lebih gelap, serta berelief. Karena waktu yang pendek, kami bergegas ke Candi Tikus.Candi Tikus

Tidak seperti Candi Bajang Ratu, Candi ini berada di bawah, karena digunakan sebagai tempat pemandian untuk menyucikan diri. Saya jadi terkenang dengan salah satu candi di Kompleks Candi Penataran di Blitar.

Candi Tikus ini menyimpan cerita tentang wabah tikus. Dikisahkan petani di daerah ini mengalami wabah tikus. Ketika ditelusuri jejak si tikus, ternyata mengarah ke suatu tempat. Setelah digali ternyata gundukan tanah tersebut adalah sebuah candi. Karena menjadi tempat bersembunyi tikus sampai sekarang candi ini diberi nama Candi Tikus.

Wah jarum jam telah menunjukkan pukul 5 sehingga kami tidak bisa berhenti ke Pendopo Agung Trowulan, tempat Gadjahmada mengucapkan Sumpah Palapa. Uhm sayang juga, namun kami juga takut kemalaman, apalahi kabut sudah mulai membayang.

Kami pun bergegas pulang, dengan rute baru yaitu Wonosari-Japanan-Gempol-Pandaan-Malang. Berbekal nekat dan petunjuk yang kurang jelas kami menysuuri jalan-jalan sepi dan untunglah kami sempat membaca plang nama yang menunjukkan arah ke Malang.

Walaupun tidak mengenal jalanan yang kami lewati, kami berhasil tiba di Pandaan yang membuat kami lega. Selebihnya kami telah mengenal medan. Sampai di rumah jam telah menunjukkan pukul 21.00. Kami kelelahan namun merasa puas.Sumpah Palapa

sumber: http://www.djarum-super.com/adventure/adventure-journal/contestant-journal/detail/read/menuju-kompleks-situs-kerajaan-terbesar-nusantara/

~ oleh dewipuspasari pada April 6, 2013.

Satu Tanggapan to “Menuju Kompleks Situs Kerajaan Terbesar Nusantara”

  1. Terima kasih wisuda:)

Tinggalkan Balasan ke Dewi Puspa Batalkan balasan