Dari Petugas Bandara yang Kasar-Kamera Rusak- Hingga Sopir yang Mabuk
Bila bertemu orang asing di Indonesia saya mencoba menghadapi mereka dengan ramah. Selain ingin memberikan citra baik tentang negara Indonesia, saya juga ingin mendapat perlakuan sama apabila bertandang ke negeri orang.
Ketika mendapat undangan menghadiri konferensi TI di Bangalore, saya pun menyambutnya dengan gembira. Saya lalu memperpanjang waktu berkunjung di sana menjadi seminggu agar bisa mengunjungi bangunan paling terkenal di India, yaitu Agra alias Taj Mahal.
Setelah sibuk menyusun jadwal dan berhasil mendapatkan visa, kami pun berangkat melalui Malaysia. Selama di Malaysia kami hampir ketinggalan pesawat karena sangat ramainya antrian check in. Untunglah petugas maskapai tersebut memberi kelonggaran bagi penumpang yang tidak membawa bagasi sehingga kami bisa tertampung di pesawat tersebut.
Saya telah beberapa kali ke luar negeri, tapi baru di Bangalore saya mendapat perlakuan yang sangat tidak ramah. Blangko kedatangan telah saya isi seperti biasanya, dan saya jawab pertanyaan petugas dengan sopan. Saya terheran-heran dan jengkel ketika si petugas mengusir saya dan menyuruh saya mengisi kembali blangko. Ketika saya isi lagi formulir persis dengan sebelumnya dan menuju antrian petugas yang berbeda, saya lolos dengan mudahnya. Dalam hati saya merasa sangat kesal dengan petugas yang kasar tadi.
Perjalanan di Bangalore cukup menyenangkan. Setelah konferensi selesai, kami berjalan-jalan menuju istana, kuil, dan beberapa tempat menarik lainnya. Kami bertemu dengan pemuda India dari jaringan couchsurfing yang ramah dan berbaik hati memandu kami. Ia juga meminta kami was-was karena tidak semua orang India seperti dirinya. Ia bahkan meminjamkan satu nomor operatornya karena membeli nomor perdana di India bagi turis sangat sulit.
Kesabaran kami diuji lagi dengan sikap petugas hotel yang licik. Ia memaksa kami membayar biaya lain-lain selain biaya komunikasi, meski di website mereka tidak disebutkan ada biaya lain-lain, dan kami telah membayar lunas melalui sistem booking online. Karena malas berdebat dan takut ketinggalan pesawat menuju Delhi akhirnya kami membayar tambahan biaya tersebut. Ia juga tidak membantu kami mencarikan taksi. Sungguh layanan hotel yang tidak menyenangkan.
Meski demikian, kami mencoba menikmati perjalanan kami. Apalagi setelah di Bangalore kami terbang menuju Delhi, ke Manali, dan kemudian ke Agra.
Kesialan demi Kesialan di Manali
Di Delhi, kesulitan dimulai ketika kami hendak berangkat ke Manali, suatu wilayah sekitar 12 jam dari Delhi, berupa pegunungan bersalju. Kenalan kami yang berjanji menjemput kami di terminal bus tidak kunjung tiba. Kami telpon pun tidak diangkat. Kami masih saja berusaha bersikap positif dengan berupaya mencari penginapan sendiri dan akhirnya berhasil mendapatkan penginapan cukup terjangkau. Setelah lelah berkendara kami tertidur pulas.
Rupanya Manali saat bulan Juni menjadi destinasi favorit warga India karena kesejukannya. Manali menjadi macet dan kami tidak kebagian bus menuju Rohtang Pas, wilayah pegunungan yang bersalju. Kami harus puas dengan tawaran menyewa mobil untuk keesokan harinya. Hari itu kami lewatkan dengan mengunjungi museum, kuil, dan bermain di sekitar sungai.
Kesialan menghampiri kami lagi. Ketika hendak memotret yacht, hewan seperti kerbau dengan bulu yang tebal, khas Tibet, hasil jepretan tiba-tiba menjadi terlalu terang dan tidak bisa dikendalikan. Kadang terlalu terang, cokelat, atau malah gelap sama sekali. Saya melongo dan menoleh kanan-kiri jangan-jangan ini daerah mistis. Ketika saya coba ke penginapan ternyata tetap bandel, begitu juga ketika di Agra. Wah-wah-wah saya sial banget. Saya harus puas dengan kamera ponsel dengan kapasitas yang sedikit dan pixel yang rendah.
Keesokan harinya bersamaan dengan hari kami balik ke Delhi. Saya mengemasi barang dan menunggu mobil yang kami sewa datang. Rupanya mobil sewaan kami berupa mobil sedan yang jelek dan lagat supir yang nampak aneh. Lagi-lagi saya berpikiran positif hingga si sopir memaksa kami menyewa sepatu dan mantel di sebuah penyewaan barang serta meminta kami menunggu sementara ia menuju kedai minuman. Saya berbisik ke suami, sepertinya kami salah menyewa mobil. Dan benar, setelah keluar dari kedai, muka si sopir menjadi memerah dan berbau alkohol. Sial, supir kami mabuk lagi.
Saya terus berdoa agar kami bisa ke Rohtang Pas dan kembali dengan selamat sementara si sopir berkendara dengan ugal-ugalan meski jalanan mendaki dan sempit. Beberapa kali ia menyalip bus dan mengklakson-klakson kendaraan yang ada di depannya. Hingga suatu kali, sopir kendaraan di depannya jengkel dan meminta sopir kami keluar dari kendaraan. Setelah keluar, ia melayangkan tinju ke wajahnya, dan untunglah terhenti setelah suami meminta maaf ke supir yang marah-marah tersebut dan berjanji sopir kami tidak akan bersikap demikian lagi. Saya sendiri hampir menangis karena malu dan jengkel dengan ulah sopir.
Setelah menikmati pemandangan Rohtang Pas, kami bergegas pulang karena takut ketinggalan bus. Si supir kembali melaju gila-gilaan karena jalan menurun, padahal jalan curam dan berliku-liku. Kepala saya semakin pening dan akhirnya saya meminta turun dan muntah beberapa kali. Hingga tiba di terminal bus, saya merasa lemas dan masih merasa mual. Karena pusing saya tidak begitu perhatian dengan barang-barang kami yang telah dikeluarkan dari bagasi mobil. Sementara suami mencari bus kami, saya menikmati teh hangat.
Perjalanan yang sangat saya idam-idamkan menuju pegunungan bersalju pun berakhir mengenaskan. Rasanya saya tidak bakal ke sini lagi dan diam-diam saya masih bersyukur meskipun banyak kejadian buruk menimpa saya di kota ini. Saya mendengar ada beberapa turis yang tersesat ke suatu lembah di Manali yang dikenal tempat bersarang mafia narkoba dan perdagangan manusia, dan mereka tidak pernah diketemukan lagi. Manali oh Manali…





Kalo gini ceritanya ga akan pernah nyoba maen ke sana deh Pus huhu..
Jangan gitu Dan…boleh saja tetap ke sana cuma lebih waspada..pasang wajah angker hihihi.