Kompasiana:Mengobati Rasa Penasaran akan Sumbawa

137879750638926049

Keindahan pantai-pantai di Sumbawa sudah pernah saya dengar. Namun, saya masih sulit membayangkan bagaimana menuju ke sana. Sementara, pasangan dan teman-teman sepermainan umumnya awam dengan tempat wisata dan informasi transportasi menuju ke sana. Untunglah ada banyak catatan perjalanan yang tersebar di berbagai media sosial dan forum travelling, sehingga saya mendapat gambaran menuju ke sana. Ketika ada acara konferensi di Lombok, saya pun berniat mampir sejenak ke pulau Sumbawa demi mengobati rasa penasaran.

Informasi tentang kapal feri menuju Lombok tidaklah sulit didapat. Hanya dengan Rp 18 ribu, pelancong bisa menyeberang ke pulau Sumbawa. Yang paling sulit adalah membayangkan transportasi dari pusat kota Mataram, Lombok. Banyak yang menyarankan untuk naik travel dari kota Mataram, dan itupun tidak setiap saat berangkat, harus memesan kursi terlebih dulu.

Sudah lama saya tidak melakukan perjalanan solo, apalagi setelah berpasangan. Adrenalin yang saya peroleh ketika menempuh perjalanan seorang diri sudah lama tidak saya rasakan. Nah, inilah kesempatan saya mengecapnya dengan waktu dan dana yang terbatas. Akhirnya saya memilih untuk mencoba go show alias mencoba segala kemungkinan transportasi tanpa melakukan reservasi terlebih dahulu.

Namun, menjelang hari keberangkatan saya mulai gelisah, takut membayangkan ada apa-apa selama perjalanan. Saya sudah terbiasa pergi dengan fasilitas yang cukup nyaman atau pergi bersama pasangan. Kini saya dihadapkan dengan batasan waktu dan dana. Apakah saya mampu? Saya mulai pesimis.

Ketika damri membawa saya menuju Bandara Soekarno Hatta, saya mencoba menghubungi salah satu pemilik kapal di Sumbawa yang direkomendasikan oleh kenalan di couchsurfing. Menurut kawan saya tersebut, bapak tersebut juga terkadang menyewakan rumahnya bagi para backpacker. Dua jam menunggu hingga pesawat tinggal landas belum ada balasan. Pikiran saya mengatur strategi agar saya segera mencari penginapan selepas kapal feri berlabuh.

Rupanya bandara baru Lombok tersebut jauh dari pusat kota. Untuk menuju pusat kota, cara termurah yaitu naik damri, sementara naik taxi harus membayar paling murah Rp 125 ribu. Rupanya kemujuran tengah menghinggapi saya. Wanita paruh baya yang menjadi teman mengobrol saya selama di Bandara Cengkareng, mengajak saya untuk sharing taxi. Saya cukup memberikan uang patungan Rp 25 ribu, harga yang sama dengan tarif damri, namun dengan waktu yang lebih singkat dibandingkan menunggu bus.  Wanita pengusaha asal Manado tersebut amat ramah dan ia nampak antusias mendengar rencana saya untuk mampir sejenak ke Sumbawa. Awalnya ia bingung mengapa saya tidak mengeksplore keindahan pulau Lombok dan memilih menuju Sumbawa. Saya jelaskan bahwa saya pernah sebelumnya ke Lombok dan telah berkeliling ke spot-spot wisatanya.

Sopir taxi pun ikut-ikutan antusias mendengar rencana saya dan berniat mengantarkan saya ke salah satu travel yang pernah digunakannya. Tapi mendengar tarifnya yang cukup mahal dan waktu bepergiannya yang tidak seketika, saya pun menggelengkan kepala. Lantas ia ingat bahwa ada elken yang biasanya membawa penumpang ke pelabuhan dengan tarif jauh lebih murah.

Setelah Bu Jane, wanita asal Manado tersebut tiba di hotelnya, si supir taxi membawa saya ke tempat bermangkal elken tersebut. Awalnya saya mengira ia membawa saya ke terminal angkutan  luar kota, namun tidak. Ia membawa saya keluar dari pusat kota dan kemudian berhenti di sebuah elf. Oh yang dimaksud elken itu rupanya elf. Ia meminta tambahan tarif Rp 20 ribu, yang saya bayar dengan sepenuh hati. Mengapa sepenuh hati? Karena tarif Rp 125 ribu yang dikenakan oleh taxi tersebut seharusnya sudah termasuk menuju ke tempat mangkal elf ini. Ya, sudahlah saya mengambil positifnya. Jika saya naik angkot mungkin saya diturunkan di terminal dan menunggu elf sarat penumpang berjam-jam.

Menumpang Elken Menuju Kayangan
Elken tersebut telah penuh, hanya tersisa satu kursi di depan. Tanpa ragu saya pun duduk di jendela dan bercakap-cakap dengan penumpang di sebelah saya. Kata si remaja pria tersebut, perjalanan menuju pelabuhan sangat jauh, bisa sekitar 2 hingga 3 jam berkendara. Apalagi elf ini sering berhenti untuk menaikturunkan penumpang.

1378797587843218793

Pemandangan menuju pelabuhan Kayangan berbeda jauh dengan pemandangan di kota Mataram. Konturnya berbukit-bukit dengan pemandangan sawah berlatar belakang pegunungan. Hawanya masih sejuk dan segar, membuat saya mulai terkantuk-kantuk. Lalu tiba-tiba langit semakin gelap dan hujan turun sangat deras, membuat elf berjalan tertatih-tatih.

137879764540867452

Hujan tersebut rupanya hujan lokal. Di beberapa tempat cuaca sangat cerah, dan ketika memasuki wilayah lain hujan kembali mengguyur. Saya jadi was-was apakah kapal masih bisa berlayar dengan cuaca yang tidak menentu ini. Untunglah tak lama kemudian, Pak Sapiola, pemilik kapal di Sumbawa, memberitahu bahwa ia bisa mengantar saya ke Pulau Kenawa keesokan hari. Kabar baiknya, keluarganya mempersilahkan saya untuk menginap di rumahnya. Saya tersenyum mendengar kabar gembira ini.

Perjalanan saya menuju pelabuhan masih jauh. Saya melewatkan waktu dengan memperhatikan penumpang yang naik turun menggunakan jasa elf ini. Rupanya tidak banyak pilihan transportasi di Lombok Timur. Elf atau elken inilah yang menjadi andalan para warga di sini karena lebih terjangkau dibandingkan travel. Dan satu lagi alasan mereka menyukai menggunakan jasa elf. Selama perjalanan mereka membawa barang yang beraneka ragam. Ada yang membawa ayam, berkarung-karung kentang, tomat, dan hasil bumi, adapula yang membawa panganan ringan kemasan dalam partai besar. Alhasil suasana di dalam elken menjadi meriah dan sarat dengan beragam makhluk hidup.

Namun, semakin jauh dari pusat kota penumpang semakin menyusut. Saya mulai was-was, takut jika saya diturunkan di tempat antah berantah. Dan dugaan saya mulai terbukti. Si sopir menanyakan tujuan saya. Dan ketika ia mengetahui tujuan saya ke pelabuhan, ia mulai mengerutkan kening, dan berbicara dengan keneknya menggunakan bahasa lokal. Mata saya mulai was-was mencari tumpangan alternatif.

Lalu mulailah ia berdiplomasi yang saya tahu ujung-ujungnya adalah duit. Ia mau mengantarkan saya di tempat paling terdekat dengan pelabuhan yang nantinya disambung dengan ojek. Ia bersikap seolah-olah ia sudah berbuat baik dengan menawarkan hal tersebut dan berpura-pura tidak melihat wajah saya yang mulai mengeras dan bersikap hati-hati. Karena saya tidak mengetahui medan, saya pun menyerah dan menanyakan tarif yang diminta. Dari hasil tanya-tanya dengan sopir taxi sebelumnya, tarif elf tidak lebih dari 20 ribu dan itupun perhentian terakhir di pelabuhan. Kini, si sopir elf tersebut meminta saya Rp 30 ribu yang katanya sudah termasuk sewa ojek yang akan mengantar saya ke pelabuhan.

Ojek dan Penumpang Gelap
Dari tempat perhentian saya terakhir hingga pos pelabuhan tidak lebih dari 15 menit. Selama perjalanan, laut yang biru sudah nampak dan makin cantik karena dihiasi oleh pegunungan. Si supir ojek yang masih remaja meminta saya Rp 20 ribu untuk tiket feri. Sebenarnya saya tidak masalah ia meminta uang 20 ribu karena sepengetahuan saya tarif resminya adalah Rp 18 ribu. Namun, yang membuat saya kesal, uang 20 ribu itu tidak masuk dalam kas pendapatan ASDP melainkan masuk ke kantongnya. Ia ambil 10 ribu untuk dirinya, dan masing-masing 5 ribu untuk petugas pemeriksa tiket dan preman di situ. Wah-wah-wah saya jadinya penumpang gelap.

Suasana Ferry yang Meriah

1378797738399552931

Pelabuhan Kayangan ini termasuk pelabuhan yang ramai dan sarat penumpang. Ketika itu jam sudah menunjukkan pukul 15.30 sehingga penumpang tidak terlalu penuh. Saya lalu memilih kursi yang memungkinkan saya untuk melihat pemandangan laut.  Seperti biasanya saya melakukan penelitian sejenak untuk mengantisipasi kondisi-kondisi terburuk. Saya telah menemukan lokasi penyimpanan pelampung, beberapa orang lokal yang nampaknya petugas kapal, serta wajah-wajah penumpang yang nampak bersahabat. Tapi kali ini saya sedang tidak ingin bercakap-cakap. Saya hanya ingin menikmati perjalanan selama di atas kapal.

Kapal ferry ini meriah oleh para pengamen yang menyanyikan lagu-lagu daerah. Banyak juga penjual yang menjajakan nasi bungkus dan susu kuda liar serta madu sumbawa. Yang menarik perhatian saya, rupanya counter makanan dan minuman juga menyediakan jasa meng-charge baterai ponsel. Tarifnya lumayan mahal yaitu Rp 10 ribu perponsel, tapi saya lihat banyak kabel yang menancap alias bisnis ini lumayan laris bagi para pelancong.

Selama perjalanan, ada banyak pulau-pulau kecil yang terlihat. Pulau-pulau itu berwarna kehijauan. Dan setelah sekitar 1,5 jam, kapal kami telah berlabuh ke Poto Tano, pelabuhan tercantik yang pernah saya lihat.

1378797799673848715

 

Pelabuhan Poto Tano dan Pulau Kenawa
Pelabuhan Poto Tano ini ukurannya tidak jauh dari pelabuhan di Jepara namun nampak bersih dan cantik oleh deretan bukit-bukit kuning kecokelatan. Apalagi saat itu matahari hampir terbenam. Sangat cantik.

1378797878159873753

 

Beruntung Pak Sapiola yang akan menjadi tuan rumah sudah tiba dan menjemput saya dengan roda duanya. Perjalanan dari pelabuhan menuju rumahnya tidaklah jauh. Saya mendapat suguhan pemandangan pantai dan bebukitan yang indah.

1378797950126171683

 

Menginap di rumah Pak Sapiola sangat menyenangkan karena mereka ramah dan gemar mengobrol. Ada banyak hal-hal menarik yang mereka ceritakan hingga mata saya mulai merapat karena mengantuk. Perjalanan belum usai, karena keesokan hari saya ingin melawat ke pulau Kenawa sebelum kembali ke Mataram.
Menuju ke Pulau Kenawa paling asyik pada pagi hari karena cuaca di Sumbawa cukup terik. Pulau ini tidak berpenghuni dan memiliki semak-semak yang cukup tinggi. Rina, anak Pak Sapiola, meminta saya was-was karena biasanya ular suka bersembunyi di semak-semak. Dari daratan Sumbawa ke Kenawa tidak lebih dari 30 menit. Setelah puas mengelilingi Kenawa kami pun kembali menuju rumah Pak Sapiola untuk bersiap-siap kembali ke Mataram.

1378798252268787592

 

Kembali ke Mataram

Perjalanan kembali ke Mataram tidaklah semenarik ketika berangkat. Karena telah mengetahui medan perjalanan, saya merasa lebih tenang. Lagi-lagi saya menjadi penumpang gelap karena si petugas loket sangat mengenal Pak Sapiola yang sering menjadi petugas kapal apabila sedang tidak menangkap ikan. Yang membuat saya tidak enak sekaligus senang, saya mendapatkan tiket VIP, dimana kursinya empuk dan toiletnya bersih.

13787983081804799756

 

Sesampai di Pelabuhan Kayangan saya juga mendapatkan sopir elken yang jujur, sehingga saya cukup membayar Rp 20 ribu sampai tiba di terminal. Dari terminal saya naik angkutan umum sebesar Rp 4 ribu sampai di pusat kota. Jadi ongkos transportasi saya pulang pergi Mataram-Sumbawa tak lebih dari 120 ribu. Perjalanan yang tidak mahal dan tetap menyenangkan.

Tulisan di http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/09/10/mengobati-rasa-penasaran-akan-sumbawa-588462.html

~ oleh dewipuspasari pada Oktober 16, 2013.

2 Tanggapan to “Kompasiana:Mengobati Rasa Penasaran akan Sumbawa”

  1. Buset dah, sudah sampai Sumbawa saja kamu Puspa… Keren dah. .

Tinggalkan Balasan ke dewipuspasari Batalkan balasan