Kisah Mbah Sri Mencari Makam Sang Suami dalam “Ziarah”
Bagaimana jika informasi yang diterima selama ini dan diyakini sebagai kebenaran ternyata salah? Pasti ada perasaan kecewa dan adapula keinginan untuk mencari tahu kebenarannya. Itulah yang dialami oleh Mbah Sri (Mbah Ponco Sutiyem) dalam “Ziarah”. Ia selama ini menyangka Pawiro Sahid, suaminya, meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tapi ternyata tidak, suaminya dimakamkan di tempat lain.
Ia mengetahui informasi itu dari seorang sesama pejuang yang mengetahui suaminya. Ia tahu tempat suaminya ditembak oleh Belanda. Setelah menerima informasi tersebut nenek tersebut nampak termenung-menung.
Maka untuk melakukan proses berdamai dengan masa lalunya, nenek berusia 95 tahun ini pun melakukan perjalanan sendirian. Ia ingin menemukan tempat peristirahatan terakhir belahan jiwanya. Ia berharap suatu saat kelak bisa dimakamkan di sebelah suaminya.
Ia sendiri kali terakhir melihat suaminya ketika ia berpamitan untuk berjuang pada masa Agresi Militer Belanda kedua. Sejak itu ia tak pernah lagi melihat suaminya setelah dikabarkan tertembak oleh Belanda. Ketika berpamitan suaminya berkata agar ia mengikhlaskan dirinya apabila nantinya tak bisa kembali pulang. Peristiwa itu sudah hampir 70 tahun lalu.
Mbah Sri pun memutuskan melakukan pencarian tanpa memberikan pesan ke cucunya. Sudah empat hari si nenek tanpa kabar. Si cucu, Prapto (Rukman Rosadi) mulai kuatir dan mencarinya. Ia sebelum orang tuanya meninggal telah diberi amanat untuk menjaga si nenek. Ia merasa menyesal lalai menjaga neneknya.
Melihat Mbah Sri aku langsung teringat almarhum nenekku. Mungkin apabila nenek masih hidup, usianya sebaya dengan Mbah Sri. Melihat Mbah Sri yang berjalan sendirian, berjalan kaki, naik bus kecil, lalu menyusuri lembah, rasanya ikut trenyuh. Ia nampak begitu kehilangan. Mbah Ponco begitu luwes dan seolah-olah tak berakting menjadi Mbah Sri. Pastinya tak mudah bagi sang sutradara, B.W. Purwa Negara, untuk mengarahkannya.
Demikian pula halnya dengan Rukman Rosadi yang menjadi si cucu. Ia nampak demikian sayang dan perhatian kepada neneknya. Ia juga pontang-panting melakukan pencarian. Aktingnya juga natural, sebagai si cucu yang nampak bersalah.
Dialog dalam film ini banyak menggunakan bahasa Jawa ngoko dan krama sehingga nampak seperti peristiwa sehari-hari. Dialog juga membahas kehidupan sehari-hari seperti pertengkaran suami istri gara-gara barang diskon, juga cerita tentang masa-masa penjajahan Belanda.
Gambar-gambar visual tentang bentang alam, hutan, lembah dinampakkan secara sederhana, seperti yang ditemui pada umumnya. Tak dilebih-lebihkan secara dramatis. Latar dalam filn ini adalah Gunung Kidul menuju area Wonogiri
Memang ceritanya relatif datar dan gambarnya sederhana. Tapi “Ziarah” tetap menyentuh dan memberikan makna tentang pentingnya menemukan suatu kebenaran untuk kedamaian hati.
Film ini dinominasikan dalam ajang Festival Film Indonesia untuk kategori penulis skenario asli terbaik. Ia juga menjadi wakil Indonesia dalam ajang perfilman mancanegara bergengsi, yakni
ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017. Dalam AIFFA film ini meraih penghargaan Best Screenplay dan Special Jury Award.
Gambar dari bookmyshow
Saya waktu itu nonton.. di bioskop.. bioskopnya sepi.. tapi saya suka film yg beralur lambat.. apalagi.. ada hanung.. yg muncul tiba-tiba..
Endingnya mengejutkan..
Ternyata..
Nikah lagi..
Kalau gak salah begitu ceritanya..
Hehehe iya penutupnya sedih. Si cucu nampak lelah mencari sang nenek. Si nenek juga kecewa merasa dibohongi. Tapi sepertinya Mbah Sri lega karena akhirnya menemukan kebenaran meskipun pahit.