Memaksimalkan Potensi OYMPK dan Penyandang Disabilitas Agar Siap Bekerja dan Berdaya
Siapapun yang telah cukup umur berhak untuk mendapatkan peluang bekerja. Termasuk juga Dengan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) dan para penyandang disabilitas. Sayangnya hingga saat ini peluang dan kesempatan mereka untuk bekerja di masyarakat, terutama di sektor formal masih terbatas. Oleh karenanya dalam acara bincang-bincang Ruang Publik KBR bekerja sama dengan NLR Indonesia pada 30 Juni 2022, realita ini dibahas.
KBR telah berdiri sejak tahun 1999. Ia merupakan penyedia konten berita berbasis jurnalisme independen. Berita KBR bisa disimak di berbagai kanal, yakni melalui website KBR, juga melalui media soaial. Acara bincang-bincang dengan nama Ruang Publik ini juga diputar di YouTube secara live sehingga netizen juga bisa ikut berkomentar dan ikut berdiskusi. Materi-materinya berbobot dan sebagian besar jarang dibahas di permukaan.
Dalam acara ruang publik KBR kali ini yang bertema Rehabilitasi Sosial yang Terintegrasi dalam Membentuk OYPMK dan Disabilitas Siap Bekerja dan Berdaya, KBR dipandu oleh Ines Nirmala. Narasumbernya Sumiatun, S.Sos, M.Si dari Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, Kemensos dan juga dari sektor swasta, Tety Sianipar, Direktur Program Kerjabilitas.
Membuka acara, Ines menyampaikan bahwa hingga saat ini OYPMK dan penyandang disabilitas memiliki sejumlah tantangan dan kesulitan ketika terjun ke dunia masyarakat. OYPMK, misalnya. Meskipun mereka rutin melakukan pengobatan dan telah sembuh, namun peluang dan kesempatan mereka mendapatkan pekerjaan di sektor formal relatif kecil.
Ada stigma di masyarakat bahwa OYPMK dan penyandang disabilitas itu kalangan yang kurang produktif dan memiliki kemampuan yang kurang. Hubungan sosial dan komunikasi dengan pekerja lainnya bisa jadi kurang terjalin dengan baik, sehingga dianggap bisa menghambat pekerjaan. Belum lagi tidak semua perusahaan memiliki dan menyediakan aksesibilitas di tempat bekerja.
Oleh karena kurangnya dukungan sosial dan juga peluang bekerja dari sektor formal, maka sebagian besar OYMPK dan penyandang disabilitas bekerja di sektor non formal. Padahal tak sedikit dari mereka yang telah meraih gelar sarjana dan memiliki kemampuan yang bersaing.
Menurut Bu Sumiatun, ada perubahan paradigma dari Undang-undang berkaitan dengan penyandang disabilitas. Saat ini berdasar UU tahun 2016 tentang Disabilitas, bukan hanya tanggung jawab Kemensos untuk pemenuhan hak-hak disabilitas, tapi lintas sektor. “Ada 26 hak disabilitas. Salah satunya hak terhadap pekerjaan,” jelasnya. OYPMK masuk ke dalam disabilitas fisik.
Sedangkan Tety Sianipar, Direktur Program Kerjabilitas, bercerita tentang upaya mereka untuk mengajak para disabilitas bekerja di sektor formal. Mereka memanfaatkan teknologi dan platform online. Memang awalnya ada keraguan,apakah mereka mampu bekerja menggunakan gawai dan lainnya, tapi kenyataannya tak sedikit penyandang disabilitas yang memiliki media sosial dan lainnya.
“Kenapa fokusnya di sektor formal? Kami di tahun 2014 pada saat itu sebenarnya saya bersama dua founder lain berpikir bahwa kayaknya disabilitas selama inil lekat sekali dengan kerja-kerja nonformal. Sebenarnya tidak ada yang salah ataupun haram dengan hal itu ya. Karena kerja adalah penghidupan. Namun, setelah kami masuk lebih dalam, kami menemukan bahwa sebenarnya kawan-kawan dengan disabilitas banyak walaupun tidak semua yang memilih jalur itu karena memang itu opsi yang tersedia satu-satunya dan itu dari akses keadilan tentu tidak berkeadilan,” tuturnya panjang lebar. Oleh karena itu mereka menyediakan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal.
Tantangan lainnya dari perusahaan dalam menyediakan kesempatan bekerja bagi para penyandang disabilitas. “Masalah besarnya di stigma,” tegasnya. Misalnya disabilitas tidak bisa bekerja, disabilitas sulit keluar rumah. Perusahaan rata-rata ragu bukan melakukan diskriminasi.
Oleh karenanya kemudian mereka memberikan pemahaman kepada perusahaan apa itu disabiltas, bagaimana penyebutannya, dan bagaimana berinteraksi yang etis. Sehingga ketika para disabilitas masuk bekerja mereka nyaman dan mendapat perlakuan yang adil.
Bagaimana menjembatani antara gap penyandang disabilitas, masyarakat, dan perusahaan? “Untuk stigma kita harus melakukan advokasi dan sosialisasi kepada masyarakat bahwa disabilitas punya potensi yang bisa diberdayakan, bisa dimaksimalkan, baik intelektual, fisik, sensorik netra dan mental. Jadi masyarakat juga harus melihat bahwa mereka punya potensi. Stigma masyarakat itu masih kental dan masih banyak. Masyarakat memandang negatif kepada disabilitas dan ini harus kita hapus bahwa mereka itu salah,” jelas Sumiatun.
Untuk rehabilitasi sosial, Kemensos mengadakan pelatihan-pelatihan proporsional, membuat motor roda tiga dan lainnya bagi penyandang disabilitas di balai-balai pelatihan kerja Kemensos. Mereka dilatih lalu diberikan bantuan modal untuk membuka usaha. Oleh karena disabilitas tidak semuanya bisa bekerja di sektor formal, maka Kemensos fasilitasi dengan pelatihan agar bisa membuka usaha dengan memaksimalkan potensi mereka sendiri.
Program Kerjabilitas itu mencoba memberikan kesiapan pekerjaan untuk disabilitas. Saat ini yang kurang dimiliki penyandang disabilitas adalah softskill, sehingga pelatihan ini penting bagi mereka. Mereka didorong untuk membuat peta dan rencana karier mereka, apa yang ingin mereka kejar dan inginkan. Dalam program ini juga disambungkan dengan Balai Latihan Kerja, sehingga penyandang disabilitas bisa belajar merakit komputer, mengoperasikan komputer, belajar elektronik, dan lainnya. Misalnya di Balai Latihan Kerja Surakarta, Banyuwangi, dan Lombok Timur.
Saat ini sudah makin banyak perusahaan yang merekrut disabilitas. Makin banyak posisi yang bisa diisi oleh disabilitas, misal di usaha retail, baik di back office maupun front office.
Acara dilanjut dengan tanya jawab bersama para netizen dan penelpon. Kalian juga bisa menyaksikan acara tersebut di tautan YouTube berikut.