Berlatih Memanjat
“Aku takut jatuh, kak”, rengek Kwak kepada Kwik, kakaknya.
“Jangan takut jatuh. Kita punya sembilan nyawa. Hilang satu, masih ada delapan. Sebagai kucing, kita harus pandai memanjat,” nasihat Kwik panjang lebar.
Sang adik, Kwak, pun terpaksa ngikut nasihat si kakak. Ia memberanikan diri mengangkat badan dan memindahkan kaki-kakinya.
Namun belum sampai puncak, si kakak malah nampak membeku. Ia seperti berpikir sejenak. Lalu malah turun dengan cepat.
Si adik melihat si kakak turun jadi panik. “Kak, jangan tinggalkan aku… ” Ia merengek dan memanjat turun sambil menangis.
Rupanya si Kwik sakit perut. Ia tak dapat menahan rasa mulasnya. Setelah urusannya selesai, wajahnya nampak lega. Ia mengusap-usap perutnya.
“Duh jadi lapar ya. Makan dulu ah. Ia pun mengambil makanan yang masih tersisa di piring kucing. Si adik melihatnya sewot.
Ketika Kwak mengajak Kwik untuk berlatih memanjat lagi, ia menolak. Si Kwik mengantuk kekenyangan. Ia pun memilih alas kaki yang empuk lalu tak lama mendengkur. “Hidup kucing itu enak.” Ia mengigau.
