Nasinya Segunung

Nasi ayamAku berdecak, antara kagum dan mengeluh. “Kenapa nasinya segunung?”

Porsi nasinya besar sekali. Jika dibandingkan dengan lauk-pauk yang ada di sekelilingnya, maka nasi ibarat gunung yang dikelilingi aneka pepohonan.

Lauk-pauknya sederhana. Hanya ada ayam goreng, tempe goreng, telur mata sapi, sambal, dan lalapan. Eh sebenarnya tidak sederhana juga karena seringkali aku hanya menyantap nasi dengan telur.

Aku bakal tak sanggup nih menghabiskan nasi segunung. Kupisahkan sebagian nasi di pojok piring. Hari sudah gelap. Ini makanan pertama yang kumakan. Perjalanan begitu panjang dan aku belum sempat makan berat sama sekali. Tadi hanya menyantap keripik dan air dan perutku mulai keroncongan.

Aku makan di sebuah warung sederhana. Jika kulihat di peta, penginapan yang akan ketempat lokasinya sudah tidak jauh lagi. Bisa kutempuh 10 menit dengan berjalan kaki.

Perjalanan panjang. Mungkin ini juga terakhir kalinya. Entahlah.

Rupanya ayam gorengnya sedap. Bumbunya meresap sempurna. Tempe gorengnya juga enak dicocol dengan sambal merah. Ah apakah aku lapar.

Nasi separuh sudah ludes. Aku mencomot nasi lainnya. Telur mata sapinya baru digoreng, bukan sisa tadi siang. Gurih dan sedap disantap dengan sambal dan nasi.

Aku menikmati hidangan. Tahu-tahu ludes. Nasi segunung itu menghilang. Perutku membuncit kekenyangan.

Rupanya aku sungguh lapar. Pemilik warung sungguh bijak memberiku nasi banyak-banyak.

Duh kekenyangan, aku belum kuat lanjut jalan.

Gambar: Sri Vijayanti

~ oleh dewipuspasari pada Juni 15, 2024.

Tinggalkan komentar