Menyusuri Jejak Bangsa Korea dari Masa ke Masa

Laut dan Kupu-kupuKemuraman, penderitaan, kegelisahan dan kemarahan seolah-olah mencengkeram kuat antologi cerita pendek bertajuk Laut dan Kupu-kupu. Hampir seluruh kisah yang terangkum dalam karya terjemahan Koh Young Hun dan Tommy Christomy ini membuat pembaca menghela nafas panjang, mengerutkan kening atau malah terharu.Bagi mereka yang menyukai cerpen-cerpen pop mungkin akan kecewa ketika membaca buku ini. Pasalnya, ia tidak memiliki ciri-ciri umum yang membuat buku ini segera dijangkau oleh tangan-tangan pembeli atau berpindah dari pembaca satu atau pembaca lainnya. Ya, ia bukan sembarang kumpulan cerita pendek yang cepat diresapi dengan tokoh-tokoh cerita berkepribadian istimewa dan penutup kisah yang manis.Namun, karena tema-temanya yang tidak biasa serta penghujung cerita yang tidak mudah ditebak itulah membuat saya yakin buku ini memiliki penggemar tersendiri. Terutama, mereka yang menggemari cerpen bergaya realis dan surealis.

Saya mengelompokkannya ke cerpen realis karena sebagian kisah dalam buku ini menyiratkan keseharian, lingkungan tempat tinggal, budaya  dan karakter tokoh-tokoh yang ada di sekeliling pelaku utama. Sementara di kisah lainnya yang bergaya surealis, si pengarang menumpahkan ide-idenya seolah-olah tanpa mengindahkan batasan realita dan khayalan.

Meski memiliki dua gaya penulisan, cerpen-cerpen ini memiliki benang merah. Ada keterkaitan di tiap-tiap cerita. Perekat itu kebiasaan hidup masyarakat Korea dari satu periode ke periode berikutnya. Suatu zaman bisa berganti, tren boleh berubah tapi ada karakter bangsa yang mengakar dan tidak mudah hilang.

Seperti halnya bangsa Indonesia yang terkenal dengan karakternya yang ramah dan budaya gemar bergotong-royong, bangsa Korea juga memiliki nilai-nilai tradisional yang dipengaruhi kepercayaan kuno seperti Shamanisme dan Konfusianisme. Shamanisme yaitu kepercayaan terhadap roh. Mereka percaya bila roh akan tetap hidup selamanya di dunia lain atau bereinkarnasi meski jasmaninya telah tiada. Ini terlihat di ritual pembakaran mayat yang biasa dilakukan masyarakat Korea. Konon ritual ini bertujuan agar orang yang meninggal dapat hidup damai di surgai dan tidak membawa pengaruh negatif bagi keluarga yang ditinggalkan. Sementara ajaran Konfusianisme yang berasal dari China mengenal lima dasar hubungan antarmanusia, yaitu hubungan antara penguasa dan rakyatnya; ayah dan anak laki-lakinya; suami dan istrinya; kakak dan adiknya juga antarteman. Kesetiaan wujud kewajiban paling utama yang harus selalu dipatuhi dalam menjalani kelima hubungan tersebut.

Etika dan moral masyarakat Korea saat ini masih diwarnai ajaran-ajaran Konfusian. Kasih sayang antaranggota keluarga, setia kawan dan kerja keras, misalnya. Termasuk juga rasa hormat, yang diekspresikan dengan cara meninggikan lawan bicara dan merendahkan diri sendiri.

Masyarakat Korea juga kaum agraris. Mereka amat mencintai tanah pertanian karena mereka mengandalkan hasil tanah itu untuk kehidupan mereka sehari-hari. Nilai-nilai tradisional dan budaya itu terekam dari satu cerita ke cerita lainnya.

Di cerita pembuka bertajuk Dua Generasi yang Teraniaya karya Ha Geun Chan, pembaca disuguhi karakter tokoh utamanya yang setia terhadap nilai-nilai keluarga juga lugu dan keras kepala khas masyarakat petani.

Dikisahkan Park Mando tengah menunggu detik-detik kepulangan Jinsu, putra satu-satunya, dari medan perang. Meski ia pendiam dan tertutup, gerak-geriknya menunjukkan kecemasan dan kerinduan luar biasa pada putranya.

Ia juga tidak bisa menutupi kekecewaan dan keprihatinannya ketika sosok putranya hadir dalam mimpi buruk yang serupa dengan dirinya. Jinsu kehilangan kedua kakinya gara-gara pecahan granat. Nasibnya lebih menyedihkan daripada dirinya yang kehilangan sebelah lengannya.

Bapak beranak itu korban kekejaman perang. Namun dibalik kemuraman dan penderitaan itu mengalir setetes air menyejukkan. Para pembaca akan tersentuh ketika Mando bersikap seperti ibu-ibu, sibuk memilih-milih ikan godengo, sejenis ikan sarden, (hal 4) untuk menyenangkan hati putra tunggalnya. Ia juga tabah menggendong dan menyeberangkan Jinsu dengan sigap dan hati-hati (hal 16) ketika melalui titian. Sulit dibayangkan dua orang cacat menyeberangi sebuah titian dengan kondisi si penggendong hanya memiliki satu lengan.

Dari cerita ini Ha Geung Chan mengajak pembacanya untuk menyesapi kemuraman dan penderitaan perang yang dialami penduduk Korea akibat kolonialisasi Jepang. Masyarakat saat itu direkrut paksa menjadi serdadu Jepang yang dikenal dengan istilah jingyong. Mereka kerja rodi untuk membangun landasan lapangan terbang militer untuk mengantisipasi serangan sekutu pada perang dunia kedua. Bila anggota jingyong itu luka atau cacat, ia akan dikembalikan ke keluarganya tanpa memperhatikan kondisi kejiwaan dan masa depan si anggota malang itu.

Rupanya kepergian Jepang tidak lantas membuat penduduk Korea bebas. Ia turut menjadi korban perebutan pengaruh blok barat dan blok timur. Perang Korea membuat masyarakat mereka berperang dengan saudara sebangsa sendiri. Di cerita ini Jinsu lah korbannya.

Cerita berikutnya beralih ke dekade berikutnya. Seoul Musim Dingin 1964 karya Kim Seung Kok mengisahkan keputusasaan seseorang setelah ditinggal mati istrinya. Perasaannya limbung setelah menyadari pasangan hidupnya selama dua tahun telah meninggalkan dunia. Emosinya yang labil membuat ia melakukan tindakan-tindakan konyol. Ia menjual mayat istrinya untuk praktik mahasiswa kedokteran seharga empat ribu won. Uang sejibun itu kemudian ia hambur-hamburkan dengan mengajak dua pemuda, Kim dan Ahn, yang baru dikenalnya di kedai minum. Bahkan yang lebih konyol lagi ia melemparkan sejumlah uangnya ke api ketika mereka bertiga melihat kebakaran sebuah gedung.

Di cerita kedua ini pembaca bisa membayangkan situasi Kota Seoul saat itu. Ibukota Korea Selatan itu tengah membenahi diri mungkin serupa dengan situasi Jakarta pada tahun 50-an. Gedung-gedung tinggi mulai dibangun. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi mulai dibanjiri muda-mudi. Bus kota menjadi sarana transportasi perkotaan. Lampu-lampu jalanan berwarna-warni turut memperindah kota.

Yang mengaitkan cerita ini dengan kisah sebelumnya yaitu keberadaan kedai minum. Di pedesaan maupun perkotaan tersedia kedai minum. Tempat ini menjadi persinggahan para pria dewasa entah untuk sekedar minum soju dan mengudap atau mengobrol dan membahas isyu menarik di kota itu. Selain minuman keras, biasa disajikan makanan khas Korea, odeng dan burung pipit bakar. Odeng itu makanan yang terbuat dari ikan yang digoreng dengan tepung. Sampai saat ini odeng mudah ditemui di kedai makanan di pinggir jalan ataupun di restoran. Bahkan makanan ini sekarang bisa dijumpai di restoran makanan Korea di Indonesia.

Di kedai minum atau yang dikenal dengan nama sonsuljip inilah ketiga pria itu bertemu. Mereka mengobrol hal-hal yang berkelebat di kepala masing-masing. Termasuk demonstrasi yang kerap terjadi di Seoul. Rupanya pertumbuhan ekonomi turut menumbuhkan kebebasan mengungkapkan ide. Meski kebebasan berpikir mulai tumbuh, ajaran Konfusian untuk menghormati lawan bicara tetap melekat. Meski Ahn berasal dari keluarga kaya ia menghormati Kim. Seperti paragraf berikut “Gaya obrolan kami semakin saling menghormati. Kadang-kadang kami tak sengaja mulai mengucapkan ‘saya…’ berbarengan. Waktu itu kami saling memberi giliran (hal 23).

Kesetiakawanan antarteman nampak pada kisah berikutnya bertajuk Jalan ke Sampho karya Hwang Sok Yong dan Dinihari ke Garis Depan milik Bang Hyun Suk. Di kisah yang pertama terlukis kesetiakawanan Noh Young Dal pada Chung. Meski hanya sebatas teman jalan. Mereka berdua dengan sukarela menerima kehadiran Baek Hwa, gadis penghibur di sebuah kedai makan. Ia kabur dan hendak pulang ke kampung halamannya.

Young Dal dan Chung masing-masing tidak berbuat jahat dengan menangkap Baek Hwa dan mengembalikannya ke kedai makan. Padahal si pemilik kedai makan menjanjikan hadiah besar bila gadis itu berhasil ditangkap. Rupanya dua pemuda itu menghormati dan menaruh kesetiaan sebagai seorang teman pada gadis itu meski baru kenal.

Kegembiraan dua pemuda itu meruap ketika menyadari kampung halaman mereka tergerus oleh pertumbuhan industri. Tidak ada lagi desa kampung halaman Chung. Desa mereka berubah menjadi tanggul dan hotel.

Serupa dengan Jalan ke Sampho, Dinihari ke Garis Depan menuturkan kesetiakawanan antarteman pada era pertumbuhan industri. Rupanya saat itu Korea diwarnai kelesuan ekonomi sehingga beberapa pabrik terancam kolaps. Mi Jeong sebagai ketua serikat buruh di sebuah pabrik ,memimpin teman-temannya untuk berjuang mengembalikan tempat kerja mereka. Selama 150 hari mereka melakukan demo, hingga mengorbankan nyawa salah seorang pekerja. Sebagai pimpinan demo dan seorang sahabat Mi Jeong berjanji untuk menuntaskan perjuangan mereka.

Kisah kemudian bergeser ke pedesaan yaitu Kampung Nolmi yang warganya menggantungkan hidup dari lahan pertanian. Mereka tidak biasa menelantarkan tanah begitu saha. Maka sehabis panen musim semi langsung ditanami sayur mayur untuk penghasilan tambahan (hal 73).

Namun saat itu cuaca kering. Kim yang cerdik lalu berhutang untuk membeli pompa air listrik. Ia yang tidak sabaran lalu mencuri air. Perbuatan itu memacu pertengkaran dengan banyak pihak. Namun nasibnya terselamatkan oleh hal yang dibencinya, apel tahunan. Kegiatan rutin itu wajib diikuti oleh setiap wajib militer yang telah menyelesaikan tugasnya.

Di kisah ini yang terlihat adalah kecintaan rakyat Korea terhadap lahan pertanian. Meski telah mengalami revolusi industri sebagian besar warga mempertahankan mata pencahariannya sebagai petani. Mereka rela berbuat apa saja untuk menyelamatkan penolong hidup mereka itu.

Sosial budaya yang lebih detail tersirat di kisah berikutnya, Sungai dalam Mengalir Jauh karya Kim Yeong Hyeon. Kepercayaan kuno Shamanisme  dan Konfusianisme melekat di sini. Seperti kesetiaan kakak beradik, Gi Ho dan Kak Man Gi. Meski berbeda ibu, Kak Man Gi amat menyayangi adiknya. Ia memasakkan makanan buat adiknya ketika sama-sama tinggal di kota lain. Ia juga membela adiknya ketika Gi Ho berkelahi dengan temannya.

Sementara Shamanisme terlihat ketika kematian ayah mereka berdua. Tradisi penguburan Korea yang disebut nojae biasanya diikuti dengan pembakaran keranda setelah jenazah dibawa ke kuburan. Ritual ini juga nampak pada cerita Dinihari ke Garis Depan (hal 165).

Menariknya pada kisah ini Kak Man Gi bersikeras untuk memindahkan lokasi kuburan ibunya. Ia merasa bila dekat dengan arwah ibunya penyakit paru-paru yang dideritanya akan segera sembuh.

Kesetiaan terhadap nilai keluarga juga terdapat dalam cerita bertajuk Pewarisan milik Eun Hee Kyung. Mereka sontak berkumpul ketika ayah mereka divonis menderita penyakit yang akan segera merengut nyawa. Nilai keluarga ini juga nampak pada cerita berjudul Kisah Singkat tentang Pekarangan milik Eun Hee Kyung dan Laut dan Kupu-kupu karya Kim In Suk.  Kedua cerita ini membungkus nilai-nilai kekeluargaan dengan gaya imajinatif.

Di Kisah Singkat tentang Pekarangan, seorang kakak merasa gelisah ketika adiknya menikah. Ia kerap menuangkan emosi dan kerinduannya itu lewat surat yang tidak pernah ia kirimkan. Ia merasa kesepian tinggal di sebuah flat hingga suatu saat ia berjumpa dengan roh seorang gadis yang menggendong anak. Nasib roh itu hampir serupa dengan dirinya. Ia terpaksa menghantui flat lajang itu karena kehilangan jejak kakaknya.

Sementara di Laut dan Kupu-kupu mengisahkan seorang istri yang diam-diam menginginkan suaminya bersikap seperti ketika mereka baru menikah. Ia berdalih pergi ke negeri China untuk menyekolahkan anaknya. Padahal ia ingin suaminya menahannya. Ia mengalihkan perhatiannya pada Chae Heum, gadis yang ingin mendapat status kewarganegaraan Korea. Saat itu memang tengah marak orang Korea di China yang ingin kembali ke negaranya.

Kesetiaan pada nilai-nilai keluarga dan pekerjaan ada pada kisah Kerja, Nasi, Kebebasan karya Kim Nam II dan Betulkah? Saya Jerapah milik Park Min Kyu. Di cerita pertama tokoh dalam kisah itu gelisah karena gaji dia dan teman-temannya serta biaya produksi belum dibayar oleh atasan mereka. Meski demikian ia tetap bekerja dengan gigih di tempat itu dan berupaya keras untuk membayarkan tanggungan klien mereka. Sedangkan di kisah bertajuk Betulkah? Saya Jerapah si tokoh bekerja keras menjadi seorang pushman dan pegawai mini market meski masih berstatus pelajar. Pushman suatu pekerjaan unik di Korea, yaitu pekerjaan membantu penumpang untuk masuk ke kereta bawah tanah. Pekerjaan ini sulit dan memerlukan tenaga. Pasalnya, untuk mendorong penumpang agar bisa masuk di dalam kereta yang telah penuh sesak perlu energi besar.

Selanjutnya, di kisah terakhir berjudul Menyeberangi Perbatasan karya Jeon Sun Tae pembaca bisa melihat dampak psikologis perang pada tokoh bernama Park. Ia kontan berlari kencang ketika melewati jembatan perbatasan di Thailand. Walaupun tahu itu hanya ilusi, dia tak berani menoleh ke belakang. Dia terpaku dan panik karena merasa ada tembakan dari arah belakang (hal 330).  Sikapnya juga memanas ketika rekan-rekannya rombongan wisata mencercanya dengan mempertanyakan pandangannya tentang negera Jepang.

Membaca keseluruhan cerpen ini pembaca bisa merasakan denyut nadi kehidupan Korea dari zaman ke zaman. Ini juga buku pertama tentang cerpen Korea yang bisa didapatkan masyarakat awam. Bila biasanya masyarakat Indonesia mengenal Korea lewat drama, film dan produk elektronik, kini sosial budaya itu bisa ditelusuri lewat antologi cerpen ini.

Laut dan Kupu-kupu ini juga bisa menjadi bahan kajian perbandingan cerita pendek Indonesia dan Korea. Di Indonesia cerita pendek biasanya kurang dari sepuluh halaman tapi di buku ini sebuah cerpen bisa lebih dari duapuluh halaman. Rupanya batasan halaman tidak ada di kamus sastrawan Korea. Atau sebenarnya ada batasan-batasan tertentu untuk cerpen di Korea yang sangat berlainan dengan sastra Indonesia. Mungkin bila jumlah antologi cerpen Korea yang beredar di Indonesia telah cukup banyak, hal itu bisa diamati. Kita tunggu saja!

Detail Buku

Judul Buku      : Laut dan Kupu-kupu

Penulis             : Kim Nam II, Jeon Sun Tae dkk

Penerbit           : Gramedia

 

(diambil dari kisahbuku.wordpress.com)

Iklan

~ oleh dewipuspasari pada Januari 26, 2011.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

 
%d blogger menyukai ini: