Romansa: Cinta Sunyi

“Sudah kuduga kak Tommy itu menyukaimu. Ia kadang kulihat sering memperhatikanmu ketika berjalan, lama sekali,” kata Nia membuatku semakin berseri-seri. Hari ini bagiku hari yang sangat indah karena tanpa kuduga kak Tommy yang baik dan populer menyatakan cinta kepadaku. Wow-wow ini baru semacam kejutan manis buatku. Aku yang sangat ceria sore itu terlihat lain kata Nia, sehingga ia menginterogasiku dan aku sangat mudah ditembus. Aku lalu menceritakan segalanya, menit per menit kejadian tersebut.“Aku lagi jalan dari perpustakaan pusat Nia, tiba-tiba kak Tommy memanggiku dari belakang dan kami pun berjalan menuju kantin. Sewaktu di bawah pohon mangga itulah kak Tommy mengatakan suka kepadaku dan menunggu jawabanku,” paparku dengan terburu-buru gaya khasku jika aku penuh semangat.

Lalu Kamu jawab apa? Nia penasaran.

Aku cuma mengangguk pelan, ujarku menahan malu dan gembira.

Wah, Kamu itu masih bergaya ABG saja Non. Kemana saja masa mudamu? sindir Nia. Memang di antara penghuni kos-kosan ini sepertinya hanya aku yang belum pernah pacaran. Nia telah empat kali berganti pacar sejak semester satu hingga semester lima saat ini. Dia manis dan ceria, sementara aku terlalu serius.

Selamat bersenang-senang ya Non.

Itik Buruk Rupa
Rupanya aku kesulitan menyesuaikan diri dari status sorangan menjadi berdua. Mmemang hanya Nia yang mengetahui hubungan kami, namun aku merasa sepertinya semua orang memperhatikan tingkah laku kami berdua, memperhatikan aku yang kikuk setiap kak Tommy datang menghampiriku.

Aku tidak percaya diri berjalan di samping kak Tommy. Kak Tommy populer dan ganteng, sedangkan aku luyuh dengan penampilanku yang seadanya.

Aku memperhatikan diriku dalam cermin besar yang ada di ruang teve di kos. Mumpung saat itu tidak ada orang karena rata-rata masih di kampus, aku memperhatikan penampilanku dari rambut hingga ujung kaki.

Aku menghela nafas. Apa yang dilihat oleh Kak Tommy padaku. Wajahku bulat telur berbintik-bintik dan nampak kusam karena sering terpanggang matahari ketika dulu masih sering membantu orang tua di sawah sebagai buruh tani. Orang tuaku miskin dan aku bisa berkuliah ini karena beasiswa, termasuk biaya hidupku. Sama seperti wajahku yang cokelat, kulit lenganku juga kecokelatan dan sering kututupi dengan baju lengan panjang karena rasa tidak percaya diriku. Yang sedikit membuatku senang, rambutku panjang lebat hitam legam, tubuhku langsing cukup tinggi, dan senyumku manis. Seandainya saja kulitku kuning langsat atau putih mungkin aku bisa lebih percaya diri, keluhku.

Satu lagi yang membuatku semakin tidak percaya diri aku tidak trendi dan sulit. Dengan uang beasiswaku yang pas-pasan, aku cuma bisa menyisahkan uang terbatas untuk makan dan fotokopi. Jika aku berhemat-hemat aku bisa membeli blus baru dengan harga obral. Menyedihkan untuk anak seusiaku yang ingin tampil cantik dan trendi. Apa kak Tommy tidak kecewa ya denganku? Tapi nampaknya ia senang-senang saja mengobrol denganku dan berdiskusi apa saja denganku, hiburku.

Karena ingin kulit wajah dan lengan lebih cemerlang maka aku mulai berhemat-hemat untuk membeli lotion dan pelembab yang mengandung pencerah kulit. Tapi sampai berhari-haripun kulitku masih semula dan akhirnya kuhentikan. Pasalnya, sejak berpacaran dengan kak Tommy aku semakin sering jajan. Aku jarang banget jajan bakso atau siomay serta es buble, tapi karena kak Tommy suka makanan ringan maka akupun ikut-ikutan membeli makanan. Dan aku baru tahu ternyata kak Tommy menghargai emansipasi wanita alias tidak mau menraktirku. Diam-diam pikiran jahatku membisikku kalau kak Tommy itu pacar yang pelit. Si Nia yang pacarnya bukan orang kaya sering ditraktir nonton bioskop, dibelikan novel, atau aksesori seperti bros lucu-lucu. Sayang kak Tommy pelit atau mungkin kak Tommy juga memiliki kesulitan finansial sepertiku.

Namun, yang membuatku sedih kak Tommy tidak pernah mengajakku berkencan seperti pacar Nia, ke bioskop atau jalan-jalan saat Sabtu malam. Jalan-jalan berdua selain di kampus pun tak pernah. Kami hanya bertemu di sudut perpustakaan, di kantin, atau tempat-tempat lainnya yang umum digunakan oleh mahasiswa untuk duduk-duduk. Akhir pekan kebanyakan kulalui dengan bengong atau mengerjakan tugas-tugas kuliah. Sementara Nia sibuk berdandan untuk kencan akhir pekannya. Mungkin aku berpikiran buruk, kak Tommy mungkin berakhir pekan ke rumah orang tuanya di Mojokerto, lagi-lagi aku menghibur diri.

Sudah tiga bulan aku merajut hubungan dengan kak Tommy. Ia masih sering menemuiku dan tertawa mendekatiku. Sayangnya selain Nia, tidak ada yang menyoraki kami jika kedapatan duduk berdua, semua memandang kami dengan biasa. Apakah aku salah meminta Nia untuk tutup mulut, ataukah kak Tommy juga tidak suka orang-orang mengganggu hubungan kami? Apakah ini yang namanya pacaran? Kenapa aku merasa gelisah dan merasa tak puas?

Aku merenung di kamar. Sepertinya sejak berpacaran aku tidak malah bahagia melainkan terus memikirkan sikap kak Tommy, seperti tadi siang, sepertinya ada perkataanku yang mengganggunya sehingga ia meninggalkanku di kantin sendirian. Sms-ku pun tidak dibalas hingga saat ini, ya bukankah sms-ku tiap akhir pekan pun atau hari-hari lainnya pun jarang dibalas, kenapa aku sedih saat ini.

Aku melihat tanganku. Jari-jariku di antaranya mengelupas. Aku menggosok bajuku lebih keras dan lama agar baju-bajuku nampak putih dan cerah. Bahkan aku merebus baju berwarna-ku dengan pewarna baju agar nampak baru. Ulahku ini mengundang geli beberapa anak di kos. Tapi mereka tidak sesulit aku dalam mengelola keuanganku, jadi tidak merasakan getirku. Jika biasanya aku masih punya sedikit uang untuk fotokopi ini itu, kini aku semakin mengandalkan kekuatanku untuk mencatat. Uangku mulai tersedot dengan aksi-aksi jajanku bersama kak Tommy. Sejak tadi siang aku mulai cuek untuk tidak jajan lagi ketika bersamanya karena kondisi keuanganku semakin memprihatinkan. Hemm apa itu yang membuatnya gusar kepadaku? aku menerka-nerka. Aku sibuk menyalahkan diriku dan entah kenapa air mataku mengalir. Aku merasa sengsara, tetap miskin, jelek, dan saat ini pacarku pun tidak menghiburku dan mengusap tangisku.

Tapi saat mataku telah bengkak ada pesan yang membuatku kembali tersenyum. Kak Tommy mengatakan akan meminjam salah satu novelku yang kubeli di pusat buku harga miring. Berarti ia tidak marah kepadaku dan ingat kepadaku.

Sejak siang usai kuliahku berakhir, aku menuju meja kantin di pojok sambil menunggu kak Tommy datang sesuai pesannya. Aku membawa botol air mineralku dan berupaya cuek dengan tatapan para penjual makanan yang sepertinya enggan melihat ada orang yang duduk tanpa membeli apapun.

Sejam menunggu, aku masih tenang dan berpikir jika kak Tommy masih ada keperluan. Lewat dua jam aku mulai gelisah, apalagi tugas kuliah yang kukerjakan sambil menunggu kekasihku telah rampung kukerjakan. Akhirnya aku membaca diktat kuliah. Lepas tiga jam aku menghela nafas. Jam hampir menunjukkan pukul 16.00 dan aku belum bke kamar  kecilpun. Usai ke  toilet aku tegang, jangan-jangan kak Tommy menungguku dan marah kepadaku. Aku menatap layar ponsel jadulku, dan tidak ada yang berubah, hanya penunjuk waktu di ponselku yang menunjukkan pukul 16.15. Aku masih setia menunggu hingga pukul 17.00. Dia tidak ada dimanapun dan aku sudah melayangkan pesan pertanyaan kemana dia sejak pukul 16.30, namun tidak ada balasan. Aku memendam rasa kecewaku, aku tidak ingin menangis di kampus, biarkan aku menangis di kamarku saja.

Ketika aku berjalan di pelataran kampus, hatiku mencelos. Aku lalu bersembunyi di pagar. Di lokasi persembunyianku ada pemandangan yang membuat hatiku menjerit. Tommyku mengandeng tangan seorang gadis, Dita, mahasiswi setahun di bawahku, dia yang biasa kuasisteni. Mereka nampak akrab dan mesra, bahkan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri si Tommy menaruh lengan di pundak Dita. Aku beku di lokasi persembunyianku. Namun, ada lagi yang membuatku makin shock. Di belakang mereka ada si Nia, teman satu kosku. Ia menyapa mereka bedua seeprti sudah terbiasa dengan sikap keduanya. Nia, tega amat Kamu kepadaku. kenapa tidak pernah melaporkan kisah perselingkuhan Tommy kepadaku. Padahal aku sahabatmu. Aku berlari menuju kosku, mereka tidak melihatku, atau mungkin sudah benar-benar tidak peduli kepadaku.

Sahabatku Mengkhianatiku
Di kamarku aku menangis tidak lagi terisak-isak, melainkan menjerit-jerit. Aku sedih sekali. Kenapa gadis buruk rupa miskin sepertiku sering menjadi korban. Aku tidak terima, terutama kepada Nia.

Aku mendengar suara Nia, dan aku mengambil panggaris besiku dan kuarahkan kepada Nia yang hendak masuk ke kamarnya yang berada di sebelah kamarku. Mukanya pucat dan terkejut melihat wajahku yang nanar.
“Nia, Kenapa Kamu mengkhianati sahabatmu?” kataku gusar.
Dia nampak kebingungan dan was-was, sementara beberapa anak kos yang ada di kamarnya pun keluar dan menatap kami dengan rasa ingin tahu.
“Kenapa Nda, ada apa Kamu marah-marah padaku? jawab Nia seakan tak berdosa. yang membuatku semakin kalap.
Kamu biarkan Tommy selingkuh dan tidak memberitahuku, dia menggandeng tangan Dita dengan mesra dan kamu mendukung mereka, tidak membelaku, tuduhku.
Dia tidak lagi bingung namun nampak ketakutan.
Tidak Nda, Kamu salah. Tommy sejak dulu bersama Dita, kata Nia terbata-bata.
“Berani-beraninya..” Berani-beraninya Kamu bilang aku bohong berkata Tommy bilang menyukaiku tiga bulan lalu dan menjadikanku pacarnya,” aku sedih dan sangat terluka.
“Nda, Tommy jadi pacarmu hanya sekedar angan-anganmu, ilusimu. Sampai Kapan kamu terus seperti itu? ujar Nia terisak. Sementara kerumunan teman-teman kos yang menatap kami semakin banyak, termasuk mereka yang tinggal di lantai dua.
Nia benar-benar kurang ajar dia membuatku malu, padahal dia yang jahat. Aku semakin mendekati Nia dan siap untuk memukulkan penggaris besiku. Aku sangat benci kepada sahabatku ini. Aku tidak marah lagi ke kak Tommy melainkan ke sahabatku yang menuduhku aku berbohong selama ini dan menuduhku berpura-pura Tommy pacarku. Berani-beraninya.

Aku mengayunkan penggaris besiku, namun badanku dan lenganku telah dipegang erat-erat oleh penghuni kos. Aku meronta-ronta dan memukulkan penggarisku ke orang-orang yang menghalangiku dan mereka semakin erat memegang seluruh badanku.

Lepaskan, aku meronta-ronta. Aku gemas melihat Nia yang dilindungi oleh anak-anak kos yang berbadan besar. Aku semakin sibuk meronta-ronta dan tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang memukul kepalaku dengan benda keras sehingga membuatku terhuyung dan pandanganku gelap.

Wanda yang Malang
Sudahlah Nia jangan menangis, hibur Ratih yang seolah menjadi tetua di kos karena salah satu penghuni terlama. Dia menghibur Nia yang masih terisak dan pucat.

“Wanda, Kak…kasihan,” ujar Nia terisak. Ratih menggelengkan kepalanya. Kamu masih membela Wanda yang berupaya menyakitimu, ia berdecak kesal.

Seorang petugas menghubungi keluarga Wanda dan pemilik kos menghubungi psikiater yang merupakan saudara sepupunya. Ia datang bergegas dan menyuntikan obat penenang, lalu Wanda diusung ke ambulans. Keesokan harinya orang tuanya datang dengan cemas dan lalu membereskan barang-barang Wanda di kos. Wanda telah resmi meninggalkan kos.

Beberapa hari kemudian, Nia bercerita ke psikiater yang merawat Wanda tentang kejadian sebelumnya dan hubungan Wanda dan Tommy.

Ilusi Cinta
Wanda tidak pernah jadian dengan Tommy, Bu. Dia memang terobsesi dengan Tommy, namun itu hanya di alam khayalnya, yang disambut dengan anggukan pengertian Bu Kasih, si psikiater.

Psikiater tersebut lalu menyodorkan buku harian milik  Wanda yang ditemukan di bawah kasurnya. Nia membalik-baliknya dan terkejut karena halaman-halaman terakhirnya penuh diisi dengan kisah Tommy dan dirinya.

Ini tidak benar Bu. Wanda tidak pernah duduk berdua di meja kantin bersama Tommy. Saya kadang menjumpainya hanya duduk sendirian sambil mengenakan handfree seolah berbicara dengan lawan bicaranya di telepon, papar Nia.

Ketika Nia membalik-balik halaman awal ia semakin keheranan. Wanda mengisahkan dirinya dalam buku harian seolah-olah gadis buruk rupa yang miskin. Realitanya berbalikan. Wanda gadis cantik yang tinggal di kos menengah bersama dirinya.

“Ibu belum tahu penyebab ia berlaku seperti demikian. Tapi saya harap jika ia kembali berkuliah kalian bisa menerimanya dan menganggapnya seperti teman kalian sebelumnya,” pesan Bu Kasih.

Dan satu semester kemudian Wanda kembali berkuliah. Ia tetap aktif berkuliah, duduk di meja kantin pojok sambil menggunakan handfree lalu pulang saat jelang matahariterbenam,. Begitu terus hingga ia lulus kuliah dan kemudian pergi entah kemana.

~ oleh dewipuspasari pada Juli 10, 2012.

2 Tanggapan to “Romansa: Cinta Sunyi”

  1. beuh.. mantap, mba. Love it. ga nyangka kaya gitu endingnya. Lanjut gaan.. 😀

Tinggalkan Balasan ke dewipuspasari Batalkan balasan