Indonesia Surganya Street Food
Berbicara tentang street food, Indonesia merupakan surga kuliner karena hampir di setiap pelosok wilayahnya memiliki makanan khas kerakyatan. Yang tersohor di antaranya seperti Jogja dengan nasi kucingnya, Surakarta dengan serabinya, Malang dengan bakso, dan Semarang dengan lumpianya. Semuanya enak. Dan asyiknya, harganya pun masuk di kantong.
Saya termasuk pelancong yang doyan mencicipi masakan setempat. Bagi saya, kultur masyarakat setempat bukan hanya terlihat dari tari-tarian, upacara adat, melainkan juga keseharian yang bersifat sederhana, seperti halnya makanan. Bukan jenis makanan yang dihidangkan saat pesta belaka, melainkan pula makanan yang disantap sehari-hari dan dikenal luas oleh masyarakat setempat.
Street food sendiri saya terjemahkan sebagai makanan kelas kaki lima. Menurut saya, street food adalah makanan yang mudah dijumpai dan cepat dihidangkan. Ia bisa ditemui di gerobak pinggir jalan, warung tenda, ataupun di pasar pagi. Makanannya siap saji atau dapat dihidangkan dalam waktu tak kurang dari 30 menit. Serta, bersifat kerakyatan, artinya setiap lapisan masyarakat pun dapat membelinya dengan harga yang terjangkau. Namun, definisi terakhir sepertinya berubah saat ini dengan semakin bervariasinya makanan yang tersebar di masyarakat. Jika dulu, saya menyebut street food untuk makanan seperti gorengan, jajan pasar, es dawet, siomai, tahu gejrot, serta makanan berat seperti soto ayam, ketoprak, nasi uduk, tahu campur, dan sebagainya, kini sebutan itu meluas, merambah ke makanan modern. Kini, makanan yang dianggap modern dan berasal dari budaya luar pun merambah ke segmen street food. Sebut saja seperti pizza, kebab, burger, hot dog, salad, kentang goreng, ayam tepung, creepes, dan masih banyak lagi.
Seperti halnya dunia fashion, street food pun memiliki tren sendiri, baik dari jenis makanan, penyajian, maupun lokasinya. Mungkin Anda masih ingat ketika menyantap makanan ala lesehan mulai populer. Setelah matahari terbenam, banyak troktoar yang disulap menjadi tempat makan lesehan. Hanya bermodal terpal dan bangku pendek untuk meja makanan, maka tempat makan ini berubah gaya, dari yang sebelumnya hanya berupa bangku panjang atau warung tenda. Sementara, di kalangan mahasiswa dan pelajar, tempat makan lesehan ini menjadi tempat makan yang romantis dan murah meriah dengan kehadiran lilin di tiap meja. Pada era sebelumnya, tenda kafe yang mungil dan bergaya juga sempat mewabah. Perubahan warung tenda biasa menjadi tenda kafe seakan meningkatkan gengsi penjual dan pengunjungnya. Sayangnya tren ini tidak bertahan lama dan hanya sedikit yang mempertahankan gaya ini.
Dari segi jenis makanan, trennya cepat berubah, sehingga banyak penjual yang gulung tikar apabila sekedar mengandalkan tren. Saat musim kebab, cukup banyak gerobak yang menjual makanan khas Timur Tengah ini. Begitu pula saat es pisang ijo mulai kondang. Berbagai merk pun bermunculan dan mengaku memiliki resep asli dari Makassar. Ada juga tren pisang pasir yang cepat surut. Namun, di antara pedagang makanan tersebut, tidak jarang pula yang bertahan dan tetap laris. Seperti kebab merk tertentu yang tetap memiliki pangsa pasar tersendiri.
Saya sendiri memandang street food sebagai aset suatu bangsa. Ia cerminan budaya setempat sekaligus lumbung mata pencaharian masyarakat. Sangat rugi apabila pemerintah daerah setempat itu tidak mengelola dan menata para pedagang tersebut dengan baik. Sebab, street food juga dapat menjadi magnet untuk menarik para wisatawan. Ia dapat dimasukkan ke dalam peta daerah sebagai salah satu obyek wisata yang unik, seperti halnya negara tetangga Malaysia dan Singapura. Dan, terbukti mereka berhasil.
Beberapa kota di Indonesia yang sukses menjadikan makanan kaki limanya sebagai ikon kota tersebut adalah Yogya dengan nasi kucingnya. Nasi kucing sendiri adalah makanan yang dulunya dinikmati masyarakat kelas bawah dan mahasiswa karena sangat murah. Disebut nasi kucing karena porsi nasi tersebut biasa diberikan pada kucing. Dengan hanya membayar Rp 500 – Rp 1 ribu mereka mendapatkan nasi berukuran sekepal plus tumisan. Cukup lumayan untuk mengganjal perut yang minta diisi. Apabila masih lapar, juga bisa nambah lagi.
Kini, nasi kucing yang biasa dijual di warung yang disebut hik ini dikenal masyarakat segala lapisan. Penggemarnya tidak hanya segmen masyarakat kelas bawah dan mahasiswa, melainkan semua kalangan. Nasinya tetap dikemas dengan porsi mini, namun lauknya lebih bervariasi. Sebagai teman nasi kucing, ada aneka tusuk jerohan dan telur puyuh, serta gorengan. Di sini selain makanan, pedagang menjual suasana yang penuh dengan keakraban dan kerakyatan. Saking populernya, budaya nasi kucing pun menjalar hingga ke ibu kota.
Tak kalah dengan tetangganya, Surakarta pun populer dengan street food paginya, yaitu nasi liwet. Jika pagi telah tiba, banyak wisatawan yang berburu nasi liwet yang banyak dijual di sudut-sudut kota. Penjualnya umumnya ibu-ibu setengah baya yang berjualan di atas tikar. Selain nasi liwet, ada juga teman-temannya seperti opor ayam dan telur. Rasanya gurih sedap. Satu porsinya pun rata-rata tidak lebih dari Rp 10 ribu rupiah.
Bila dua kota tersebut di atas mengandalkan makanan khasnya, maka kota-kota megapolitan seperti Jakarta dan Surabaya mengandalkan keragaman makanannya. Mereka mendirikan banyak pusat jajanan dan makanan, seperti di Taman Bungkul dan Jalan Sabang. Meski belum terkelola dengan baik, pusat street food ini cukup nyaman dan memberi warna pada kota. Saya bayangkan jika pemerintah daerah serius dalam mengelola street food, akan banyak pusat street food di kota tersebut yang menjadi lahan mata pencaharian dan tempat hiburan alternatif, selain pusat perbelanjaan yang terus bermunculan. Bahkan bisa jadi Indonesia menjadi tuan rumah untuk ajang street food berkelas internasional.