Catatan Java Rockin’land 2013: Woodstock ala Jakarta
Tahun ini sudah kali ketiga saya menyambangi Java Rockin’land (JRL). Diawali dengan konser yang dihadiri oleh Paul Gilbert cs alias Mr Big; dua tahun berikutnya oleh band Irlandia The Cranberries, dan tahun ini yang mengundang empat musisi beken, Collective Soul, Steelheart, Sixpence None The Richer, dan Sugar Ray. Uniknya, tiga musisi tahun ini semuanya berawalan huruf ‘S’. Seharusnya satu band tamunya adalah Slipknot, Soulfly, atau Silverchair (hehehe ngarep). Nah, di artikel ini saya tidak membahas tentang profil band, tapi lebih membahas tentang penyelenggaraannya. Dan, tahun ini saya cukup puas. Tapi apa saja faktor-faktor agar suatu festival/konser sukses?
Ada banyak hal yang menarik penonton untuk menonton konser rock. Apalagi yang berbayar dan tidak murah. Dan, untuk Java Rockin’land ini saya merogoh kocek yang tidak murah. Untunglah tahun ini dapat gratis hehehe. Namun, unsur harga tiket bukan penentu mutlak apakah konser itu bakal laris atau tidak. Yuk, baca ulasannya satu-persatu tentang penyelenggaraan Java Rockin’land:
1. Musisi Asing yang Diundang
Musisi pengisi acara merupakan faktor utama apakah festival/konser musik rock akan dibanjiri pengunjung. Karena musik rock umumnya lebih abadi daripada musik pop atau genre lainnya (selain musik klasik), maka grup-grup lawas tetap akan disukai, seperti halnya Deep Purple, U2, Rolling Stones, atau lainnya.
Nah, keputusan promotor penyelenggara Java Rockin’land untuk mendatangkan Mr Big, Steelheart, The Cranbberies, Steelheart, Collective Soul, Third Eye Blind, sudah tepat. Karena band tersebut memiliki basis massa yang kuat meskipun lagu baru mereka kurang terdengar lagi. Siapa sih yang tidak kenal lagu She’s Gone, Semi Charm Kind of Life, Shine, Zombie, dan To be With You.
Ada penelitian yang membuktikan bahwa konser musisi tahun 90-an bakal laris di negeri ini. Pasalnya, remaja 90-an masa itu telah bertransformasi menjadi pria/wanita yang sukses berkarir, dan tentunya punya duit untuk menonton konser. Sementara pilihan penyelenggara mengundang Mew juga tepat karena band Eropa Utara ini sangat unik dan memiliki penggemar fanatik (salah satunya saya) meski usianya belum lebih dari satu dekade.
Yang membuat saya bingung adalah pilihan memasukkan Sixpence None The Richer dan Sugar Ray. Ok, saya juga penggemar Sixpence, tapi saya tidak pernah mendengar satu pun lagu mereka yang berbau rock. Begitu juga Sugar Ray, saya tahunya hanya Sunday Morning dan Fall a Part, meski mereka berujar jika dulunya mereka bermain di jalur rock. Ini bisa menjadi catatan serius apabila penyelenggara ingin konsisten dengan tema rock. Masih banyak kok musisi rock yang bakal menarik penggemar rock Indonesia, sebut saja Korn, Limp Bizkit, Rare Against The Machine, Metallica, Van Halen, dan sebagainya. Jika dirasa terlalu berat mengundang musisi papan atas tersebut, bisa mengundang band rock klasik, seperti Ugly Kid Joe, Heart, Skid Row, dan sebagainya. Untuk Sixpence atau Sugar Ray mungkin lebih cocok untuk festival bernuansa pop. Oh iya satu lagi, kenapa saya tidak datang ke Java Rockin’land tahun 2010 dengan bintang tamu Smashing Pumpkins. Menurut saya Smashing Pumpkins hanya memiliki beberapa hits dan kurang seru sebagai band utama.
2. Pilihan Musisi Lokal
Serupa dengan poin pertama, pengisi acara dari musisi lokal juga menjadi perhatian. Untuk satu ini, saya salut dengan pilihan penyelenggara untuk mengundang musisi rock dalam negeri dengan komposisi yang seimbang, antara band papan atas dan band-band indie berkualitas. Genre rock-nya juga variatif, apalagi tahun ini. Pas Band, /Rif, Gigi, Gugun and Blues Shelter, Edane, sudah tidak diragukan lagi kualitasnya di panggung. Sangat menarik dan menghibur. Pilihan lainnya seperti Roxx dan Deadsquad juga tak kalah seru.Berasa banget nuansa metalnya.
Cuma, lagi-lagi ada catatan. Karena jelas-jelas memakai nama Rockin’land mungkin band pop tidak usah lagi dihadirkan, jadinya tidak tematis. Saya menyukai lagu-lagu Endah n Resa, tapi kok rasanya jadi keluar dari tema. Mungkin alangkah baiknya, penyelenggara Java juga menyelenggarakan acara festival bertajuk festival pop atau semacamnya untuk mengakomodasi band-band pop indie tersebut.
3. Pengalaman Penyelenggaraan Sebelumnya
Java Rockin’land sudah diselenggarakan tiga kali dan ini merupakan nilai plus. Festival ini juga terbukti sukses menarik pengunjung. Meski demikian, jangan berpuas diri dulu. Masih ada beberapa kekurangan dari penyelenggaraan Java Rockin’land yang bisa diperbaiki untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraannya pada tahun mendatang.
4. Waktu Penyelenggaraan
Penyelenggara JRL sangat cerdik dengan memasang waktu musim liburan untuk penghelatan festival ini, yaitu bulan Juni dan Juli. Dengan demikian, penonton remaja dan anak-anak muda akan membludak, karena sudah terbebas dari ujian sekolah dan UAS. Tapi sepertinya tahun-tahun mendatang, penyelenggara JRL perlu memperhatikan kalender, karena bulan Ramadhan maju 11-12 hari setiap tahunnya. Tiga tahun mendatang masih bisa dihelat pada bulan Juni, tapi setelah itu waktu penyelenggaraan diundurkan hingga selepas bulan puasa alias bulan Juli.
5. Harga Tiket
Harga tiket Rp 300 ribu sebenarnya cukup mahal. Tapi harga ini sudah termasuk wajar untuk penyelenggaraan acara musik dengan mengundang musisi asing. Satu konser band asing saja rata-rata Rp 300 ribu dan itupun hanya berlangsung 2-3 jam. Saya pernah menonton konser Linkin’ Park dengan tiket termurah Rp 500 ribu. Dan, apa yang terjadi jarang penonton yang memilih tiket termurah, tiket seharga Rp 700-1,5 juta malah diserbu. Ini membuktikan daya beli masyarakat, khususnya Jakarta, terus meningkat. Banyak penggemar musik yang tidak begitu peduli dengan harga tiket, asalkan mereka dapat menonton band kesayangan mereka.
Namun demikian, saya berharap harga tiket Rp 300 ribu untuk JRL tetap dipertahankan, agar semakin banyak penggemar musik rock yang datang, termasuk yang dari luar Jakarta, seperti Surabaya, Malang, Medan, dan kota-kota lainnya. Siapa tahu juga dapat menjadi ajang promosi wisata Indonesia.
Konsep pre-sale juga tetap menarik diadakan, meskipun ada unsur gambling karena pembeli tidak mengetahui musisi-musisi yang bakal mengisi acara.
6. Lokasi Acara
Dulu saya heran kenapa JRL diadakan di Ancol. Jauh banget bagi saya yang tinggal di ujung timur Jakarta. Dan yang menyebalkan, tiket masuk di Ancol sangat membebani pengunjung. Belum apa-apa, baru masuk saja, sudah dibebani tiket masuk Rp 15 ribu/orang dan Rp 15-20 ribu untuk kendaraan. Ckckck.
Memang sih Ancol cukup lapang meski tidak ideal untuk acara musik. Tapi yang paling menyebalkan kenapa tiket masuk lokasi tersebut sangat mahal. Seharusnya pemegang tiket JRL dibiarkan masuk secara gratis, hanya membayar untuk kendaraan. Toh, pihak Ancol sudah dapat dana lumayan besar untuk biaya masuk kendaraan. Saya belum tahu apakah JRL suatu saat bakal dipindahkan. Senayan atau Kemayoran menurut saya bisa dipertimbangkan, atau mungkin ada lokasi lain yang lebih strategis dan ideal.
7. Transportasi
Jika transportasi menuju lokasi acara ribet maka akan mempengaruhi minat calon penonton. Menuju Ancol masih ada TransJakarta. Namun, dari pintu masuk Ancol ke Pantai Karnaval sangat jauh. Jumlah ojek terbatas dan itupun sulit ditawar karena mereka tahu siapa yang membutuhkan. Kendaraan gratis dari Ancol pun jarang lewat. Masak sih penonton JRL harus punya kendaraan sendiri?!
Agar penonton nyaman, panitia setidaknya menyediakan kendaraan gratis dari pintu masuk Ancol yang membawa penonton ke lokasi acara. Dijamin, calon penonton akan senang dengan fasilitas tersebut.
8. Parkir Kendaraan
Saya masih ingat dua JRL sebelumnya kami kesulitan memasuki Ancol. Macet tiada taranya dan lalu lintas kacau balau. Dimana ya petugas? Selain itu parkirnya juga tidak terkelola dan jauh banget dari lokasi, sehingga setelah berhasil parkir, kami berdua harus berjalan kaki lumayan jauh dengan penerangan yang minim. Bubar konser, kembali macet parah menuju pintu keluar.
Mengingat dua pengalaman sebelumnya, kali ini saya cuma didrop oleh pasangan karena ia malas parkir dan jalan jauh. Surprise, sekarang lokasi parkir lebih dekat dengan lokasi acara dan lebih tertata. Petugas yang memberitahu arah juga tersedia. Semoga ke depan, penataan parkir dan lalu lintas ketika acara berlangsung jauh lebih baik.
9. Fasilitas Toilet
Menonton festival musik lebih dari 3-4 jam, tentu perlu asupan air agar tidak dehidrasi. Tapi jika fasilitas toilet sedikit atau susah ditemui, apa yang terjadi? Untuk ini, panitia seharusnya lebih perhatian karena penonton sangat banyak dan tidak bisa menghentikan proses alam ini.
Tahun ini, jumlah failitas toiletnya lebih banyak, meski tetap saja tidak seimbang dengan jumlah penonton. Antrian cukup panjang dan toiletnya sangat bau. Saya hampir muntah di dalam toilet. Ini festival kelas internasional lho, bukan kacangan. Jadi jangan sampai penonton malas datang lagi hanya gara-gara toilet kotor.
10. Gangguan Asap Rokok
Acara musik di Indonesia sulit terlepas dari rokok, baik dari sponsor dan pelaku sendiri. Ini salah satu kelemahan JRL yang terkadang membuat saya jengkel dengan ulah para penonton yang asyik merokok di tengah kerumunan massa. Tolong dong, udara bukan hanya milik Anda. Ada lho pasal dalam HAM yang menyebutkan bahwa setiap warga berhak menghirup udara bersih. Lagian apa sih asyiknya menonton musik sambil merokok, toh lebih seru jika menonton sambil ikut bernyanyi.
Kalau bisa sih, panitia membuat arena khusus perokok, karena penggemar rock bukan hanya pria, dan banyak pecinta rock yang senang hidup bersih dan sehat. Tahun ini saya lihat ada banyak penonton yang datang membawa anak kecil, dan ada juga beberapa yang membawa bayi atau balita.
Oh iya, satu lagi, hari Minggu lalu ada penampil yang merokok di panggung. Busyet, masak menyanyi sambil merokok. Bukan contoh yang baik deh. Festival rock diadakan di ruang publik, jadi kalau bisa bebas asap rokok, agar tidak hanya dinikmati sebagian orang saja.
11. Petugas keamanan
Siapa sih yang ingin melihat kerusuhan di festival/konser rock? Memang rock identik dengan anti kemapanan dan kemarahan, tapi pecinta rock yang asli itu mereka-mereka yang cinta damai dan cinta lingkungan. Untuk itu, kehadiran petugas keamanan tetap diperlukan untuk menjaga suasana agar tetap aman dan kondusif.
Tahun ini jumlah petugas cukup banyak dan selama pelaksanaan JRL untunglah tidak pernah ada kekerasan. Bahkan, banyak di antara petugas keamanan yang juga asyik menikmati musik rock. Hehehe tidak apa-apa kok Pak, seru juga melihat polisi yang mengangguk-anggukan kepala menikmati alunan musik cadas.
12. Panggung dan Jadwal Musisi
Saya tidak ingat jumlah panggung JRL tahun-tahun sebelumnya. Tapi sepertinya perhatian penonton masa itu hanya tertuju pada panggung utama, sehingga kasihan juga musisi yang mengisi panggung lainnya. Dan tahun ini ada tujuh panggung di JRL 2013, dengan tiga panggung besar berdekatan dan empat panggung yang lebih kecil tersebar di berbagai sudut. Hal ini sebenarnya bisa menjadi bumerang jika tidak terkelola dengan baik. Misalnya, musisi indie lokal diberi panggung yang nyempil dan jauh. Kan kasihan jika tidak ada yang menonton. Padahal, semangat dan kepuasan musisi itu berasal dari sambutan dan tepuk tangan penonton.
Tahun ini saya hanya berhasil menyambangi lima panggung. Dua panggung lainnya, baru saya ketahui ketika hendak pulang. Tidak ada petunjuk peta besar yang menunjukkan dimana lokasi-lokasi panggung tersebut, juga informasi jadwal panggung. Layar bisa lho dimanfaatkan untuk wadah informasi, jangan hanya sekedar memutar iklan yang membuat eneg.
Sebagian besar penonton di JRL 2013 hanya terpusat di panggung-panggung besar, hanya sedikit yang menuju panggung yang lebih kecil karena kurangnya informasi. Memang sih ada buklet, tapi saya dapat buklet ini juga dari stan registrasi Soulnation, bukan di pintu masuk JRL.
Konsep panggung simultan ini meniru Woodstock, yaitu festival rock, yang legendaris di Amrik, dengan mengusung band-band papan atas seperti Metallica, Megadeth, Korn, dan sebagainya. Konsep Woodstock lebih seru dengan menyediakan lokasi berkemah para pengunjung dan genre yang sangat variatif. Ya setidaknya JRL sedikit-sedikit mirip Woodstock dengan skala yang lebih kecil.
Saya memberi jempol untuk perubahan jadwal panggung sehingga memberi kesempatan penonton untuk menikmati aksi musisi indie, tidak hanya tertumpu pada band papan atas. Band indie versus band papan atas mungkin kalah bersaing, namun dengan jadwal ini setidaknya mereka masih memiliki penonton. Namun, sayangnya gara-gara beberapa jadwal molor dan saya baru memiliki buklet setelah pukul 20.00, maka banyak musisi yang terlewatkan karena kurangnya informasi. Saya sedih tidak bisa melihat penampilan Cherry Bombsheel, J-Rocks, Endah n Ressa, dan musisi lainnya.
13. Gerai Makanan dan Tempat Sampah
JRL tahun ini mengundang banyak gerai makanan sehingga penonton dijamin tidak kelaparan dan dehidrasi. Makanannya juga lebih variatif, ada PhD, susis, Bakmi GM, makanan tradisional seperti cendol, aneka roti dan camilan, Nescafe, Tebs, air mineral, dan masih banyak lagi. Sayang, jumlah tempat sampah kurang banyak, sehingga ada banyak sampah yang berkeliaran. Penggemar rock cinta lingkungan kan?! Coba deh, jangan buang sampah di sembarang tempat.
Itu saja catatan dari saya, semoga JRL tahun-tahun mendatang bakal lebih seru dan lebih nyaman.