Berjuang Ke Tempat Kerja
Pukul tujuh pagi lewat aku sudah tiba di stasiun kereta. Aku berjalan cepat setengah berlarian, was-was kereta yang akan ditumpangi sudah berangkat. Untunglah keretanya belum tiba, masih di tiga stasiun di belakang. Aku bernafas lega. Tapi ketika kereta itu mendekat, aku pucat. Setiap gerbongnya penuh sesak. Mau tak mau aku memaksa diri untuk masuk agar tak terlambat. Wajahku hampir menempel di jendela.
KRL saat ini menjadi salah satu mode transportasi favorit warga Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Kemacetan mendorong warga lebih banyak menggunakan transportasi publik yang cepat. Apalagi saat ganjil genap diberlakukan lebih luas. Dan memang dibandingkan dengan naik bus umum, Trans Jakarta, ataupun kendaraan pribadi, naik KRL relatif lebih cepat. Namun, faktor nyamannya saat jam kerja, terutama pada hari Senin, ya begitulah. Sangat padat dan rasanya susah bergerak.
Seperti suasana KRL pagi ini, aku dari Depok menuju Jakarta Pusat dengan gerbong yang bermuatan sarat penumpang. Aku berada di dekat pintu masuk gerbong kereta, wajahku hampir menempel di jendela. Aku menahan keseimbangan ketika pintunya membuka dan kemudian ada lagi penumpang yang masuk seketika. Setelah 11 stasiun aku baru dapat tempat duduk, bajuku sudah bau keringat dan rambutku sudah berantakan.
Untunglah aku tidak setiap hari naik kereta, jika sedang berangkat untuk rapat ke kantor klien saja. Aku kagum dengan pasanganku yang setiap hari berjibaku dengan kemacetan, menembus lebih dari 25 kilometer menuju tempat kerja. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul enam kurang ia sudah berangkat. Lainnya malah ada yang berangkat saat langit masih gelap, sekitar jam lima. Demi menuju tempat kerja dan mendapatkan penghasilan maka mereka rela berhimpitan di kereta ataupun terkena debu asap kemacetan.
Jakarta kota yang penuh perjuangan. Para warga juga mau tak mau harus bekerja keras dan rela berkorban agar tetap bisa hidup dan bekerja di ibukota. Namun benarkah Jakarta kota satu-satunya yang mampu memberi kehidupan? Masih ada daya tarik Jakarta saat ini, entah sampai kapan.
Saya dulu malah lebih pagi lagi, jam 3 sudah menunggu kereta lho.
Busyet hahaha
Bukan cuma lebih pagi sekali, terkadang malah segerbong ama mbek mbek…alias kambing..π£π£π£
Hahaha
Malah tertawa mbak Dewi..ππ
Trkdang smpe dikantor, bau badan ama bau kambing udah menyatu padu..πππ
Lucu bayanginnya. Jam segitu kan masih gelap. Dikira penumpang di sebelah manusia eh ternyata kambing:p
Ha..ha..ha.., bukan cuma gelap, tapi gelaaaaaap sekali..
Klo orang ke injak kakinya bersuara, tapi ini malah nge mbek mbek..
Saat itu pada tahun 2006, masih dipakai kereta odong2 alias kereta api lokomotip yg belum KRL di stasiun Parungpanjang, kereta dari Rangkas Bitung.
Klo sekarang sudah KRL semua..
Dulu sempet merantau di Jakarta, dan saya hanya bisa betah beberapa bulan saja. Hiruk pikuknya kadang justru membuat tak nyaman. Hhee
Namun memang, Jakarta menawarkan apa saja yang kita ingin. Semua fasilitasnya ada dan kita pun dipermudah. Selain itu, besaran UMR, lowongan pekerjaan yang selalu ada dan lebih luas, ini juga jadi magnet tersendiri buat para perantau.
Hehehe. Untungnya aku sekarang tidak setiap hari ke tempat yang mampat, relatif masih bisa dijangkau di bawah satu jaman.
Syukur deh mba, waktunya gak kebuang di perjalanan ya
Sudah pernah merasakan hampir 1,5-2 jam tua di jalan. Jadinya hampir 4 jam sendiri hanya terbuang di jalan.
Jakarta memang penuh tantangan heuu. Pengen banget bisa tinggal dan berjuang di Jakarta, semuanya serba ada hahaha (langsung di timpuk semua warga jakarta)
anyway semangat terus kakkk, suatu saat pasti rinduuu kok
Hehehe iya sih enaknya semua serba ada, cuma ke sana ke sininya sekarang makin susah.
Jakarta juga menjadi semacam tempat pelarian dan membuat jati diri yang baru
Hehehe iya bisa jadi