Serial Nasi Goreng #2 – Nasi Goreng Jelantah
“Mama masak apa?” Aku mencium aroma dari dapur yang membuat perutku berbunyi keruyuk. Aromanya terasa gurih, aku pun duduk menunggu.
Mama membawa sepiring nasi goreng dalam ukuran jumbo. Nasinya tidak berwarna merah seperti nasi goreng yang biasa dibuat oleh mama.
“Ma, ini masakan apa?”
Nasi itu berwarna kekuningan. Duh aromanya begitu menggoda. Aku tak tahan untuk menyendoknya ke piringku.
“Ini nasi goreng jelantah,” jawabnya. Aku hanya ber ooh panjang lalu menyendoknya dan menambahkan lauk telur mata sapi di atasnya.
Oh rasanya gurih. Ada aroma sedikit asap dan gurih dari bekas gorengan. Butiran nasinya kesat, tak begitu berminyak.
Enak dan begitu pas disantap dengan telur goreng, tempe tahu, tumisan sayur, dan kerupuk. “Enak, Ma,” pujiku tulus.
Minyak jelantah itu adalah bekas minyak untuk menggoreng. Aromanya tak amis jadi bukan bekas minyak untuk menggoreng ikan. Mungkin bekas menggoreng tempe, tahu, dan telur.
“Ma, minyak jelantah kan kotor?” Aku kemudian diam, menyesal mengucapkan kata-kata itu.
Mama hanya tersenyum dan tak marah. Ia berkata itu minyak bekas sekali goreng dan ia saring terlebih dahulu. Aku lagi-lagi ber ooh panjang.
Aku tak tahu bumbunya. Apa sekedar minyak jelantah dan sedikit garam?
Ketika tiba di kosan aku mencoba praktik resep baru ini. Nasi goreng jelantah. Aku punya minyak bekas menggoreng tempe. Kutumis bawang putih dan bawang merah yang telah kuhaluskan dengan minyak bekas tersebut. Baru kutuangkan nasi dan sedikit garam. Rasanya jadi lebih tajam. Aku lebih suka yang versi ringan punya Mama.
Duh kenapa aku tak tanya resepnya waktu itu. Setelahnya aku malah habis dua piring dan duduk kekenyangan sambil menonton teve.
Apakah harus disantap dengan kerupuk ikan sehingga lebih sedap? Aku ingat kala itu aku menyantap nasi goreng jelantah itu dengan kerupuk ikan. Kecil-kecil bentuknya membulat. Kerupuknya enak dan murah.
Oh sepertinya aku perlu menelpon mama.
Gambar dari Bobo