Bercocok Tanam, Generasi Muda, dan Ketahanan Pangan
“Anak Tani”. Itulah salah satu buku favoritku yang disusun oleh Laura Ingalls. Buku ini masuk dalam koleksi serial buku “Little House on The Prairie”, bercerita tentang keluarga Almanzo, suami Laura, yang hidup dari bertani, sama halnya dengan keluarga Laura.
Pa, ayah Laura, serupa dengan ayah Almanzo. Ia menghidupi keluarganya dari bertani. Mereka utamanya bertani gandum dan aneka sayuran. Ada banyak ancaman, seperti serangan hama, hawa panas, dan musim dingin yang datang lebih dini. Tapi mereka pantang menyerah dan terus bertani.
Aku sendiri lahir dari keluarga petani. Ayahku petani tebu. Dulu ketika ayah masih aktif bekerja, selain bertanam tebu, ayah juga suka bertanam palawija, seperti jagung. Ah senangnya ketika kami panen jagung. Para warga desa akan membantu panen dan membuatkan jenang jagung yang sungguh sedap.
Lokasi tanah perkebunan ayah jauh dari rumah. Lahannya tak seberapa, lainnya sewa. Kini setelah kami dewasa dan ayah pensiun, Beliau lebih suka bertanam di rumah. Bahkan ia bertanam tebu di halaman sempit kami.
Omong-omong tentang lahan bertanam,
dulu tak jauh dari rumah, di kampung halaman, aku masih bisa melihat sawah yang luas menghijau. Kota Malang waktu itu masih begitu hijau dan tak begitu padat. Pohon, pohon rindang masih hidup nyaman di tepi jalan. Kabut sesekali tiba. Udara juga begitu segar.
Lambat-laun sawah tersebut semakin menyempit dan entah sejak kapan persisnya ia telah berganti dengan rumah-rumah dan tempat usaha yang padat. Lalu sawah itu tak ada lagi. Sawah yang tertinggal di pelosok-pelosok kota dan di kabupaten. Mereka makin terhimpit oleh rumah-rumah dan lokasi usaha.
Lahan pertanian itu pun semakin menyempit.
Tak hanya sawah, ladang, dan lahan pertanian yang menyempit. Keinginan anak muda menjadi petani pun menipis. Ada banyak alasan, petani profesi yang begitu berat dengan hasil tak seberapa dan petani profesi yang tak keren.
Alasan pertama memang masuk akal. Menjadi petani perlu ketelatenan, disiplin, dan semangat. Tak mudah menjadi petani. Mental dan sikap harus terlatih. Bangun pagi, membajak sawah, bertanam, mengairi sawah, menjaga tanaman dari berbagai hama, memberikan pupuk, memanen, hingga menjualnya.
Mereka menjaga tanamannya dengan baik selama sekitar tiga bulan. Pada masa itu bisa jadi terjadi sesuatu yang merusak panen.
Sungguh menjadi petani berat dan bisa jadi menjumpai banyak halangan. Tapi buktinya tak sedikit petani yang kaya-raya, bisa menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi dan hidup berkecukupan.
Menjadi petani juga tak keren. Lokasi pekerjaannya di sawah dan ladang. Pakaiannya asal nyaman, tak menggunakan pakaian yang sepatu yang necis.
Tapi anggapan petani itu tak berduit pekerjaan yang tak necis, dan pekerjaan yang sulit karena lahan menipis itu sebenarnya karena pikiran yang sempit. Anggapan itu bisa diputarbalikkan dari sisi yang positif. Menjadi petani itu juga bisa berduit. Petani adalah pekerjaan yang penting dan kontributif. Bertani juga bisa dilakukan di lahan yang sempit.
Bertani pada Masa Kini
Apabila terus mengeluh petani makin sedikit dan lahan pertanian semakin sempit maka akan sulit menemukan solusi. Apalagi pangan adalah urusan yang vital. Sehingga sebenarnya sektor ini perlu kita dukung bersama-sama agar menghasilkan sesuatu yang kongkrit, agar tujuan ketahanan pangan bisa teraih.
Pada era kekinian ini solusinya pun juga perlu yang kekinian. Dengan modal berseluncur di internet maka kita akan mendapat pengetahuan banyak hal di bidang pertanian. Rupanya ada banyak kemajuan di bidang teknik bercocok tanam. Ada banyak cara untuk bertani di lahan yang tak seberapa. Bahkan beberapa cara tersebut bisa diadopsi untuk bertanam di rumah.
Cara konvensional yang tetap bisa dipakai adalah bertanam di halaman rumah dengan menggunakan pot atau di tanah langsung. Dulu aku bertanam cabe dan tomat di wadah-wadah bekas air mineral. Rasanya begitu senang ketika melihatnya tumbuh dan siap dipetik.
Cara modern juga terus berkembang. Hidroponik, misalnya. Ia bisa diterapkan di halaman rumah atau di loteng. Dengan sistem hidroponik maka seseorang bisa bertanam aneka sayuran tanpa menggunakan media tanah, melainkan air dan nutrisi. Ada pula yang sukses bertanam padi dengan memanfaatkan polybag dan secara hidroganik. Juga ada yang bertanam padi di boks, sekaligus memelihara belut sehingga disebut belut.
Memang untuk sistem bertani di lahan sempit di pekarangan atau di rumah rata-rata kurang menghasilkan secara komersial. Namun cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan sekitarnya, sehingga juga cukup membantu program pemerintah mewujudkan ketahanan pangan.
Bagaimana dengan generasi muda?
Umumnya generasi muda menyukai hal-hal yang kekinian dan menarik. Bertanam di media non tanah seperti hidroponik, akuaponik, dan aeroponik mulai banyak diminati kalangan milenial. Mereka banyak memamerkannya di komunitas dan akun media sosial mereka.
Di kalangan muda juga dikenal gerakan petani muda dan komunitas-komunitas bertanam. Di sini mereka diajak untuk mengetahui cara bertanam dan cara menjualnya. Ada juga yang mengumpulkan modal dan berusaha di bidang pertanian dengan sistem patungan atau crowdfunding. Hasilnya nanti dibagi sesuai perjanjian, dengan memerhitungkan tenaga, bibit, pupuk kompos, dan biaya lainnya.

Bertanam di wadah (gambar milik Hardani)
Di sisi lain juga ada gerakan untuk diferensiasi pangan yang juga mulai menyentuh generasi muda. Gerakan ini digunakan agar masyarakat tak sangat bergantung pada beras. Sumber karbohidrat bisa dari mana saja, termasuk umbi-umbian. Bertanam umbi dan jagung juga bisa dilakukan di halaman rumah.
Tak sedikit dari petani muda tersebut yang sukses dan kaya-raya. Keberhasilan mereka menjadi contoh dan pendongkrak bahwa bertani itu juga bisa memberikan prestis, memiliki peranan penting bagi kehidupan, dan tentunya membantu pemerintah mewujudkan ketahanan pangan.