“Mondok” dan Citra Pesantren Kuno

Mondok

Dulu pesantren memiliki citra kolot dan kuno. Namun, dengan perbaikan sistem belajar-mengajar, kini citra tersebut perlahan-lahan mulai menghilang. Bahkan, kini ada banyak orang tua yang menitipkan anaknya untuk mondok. Kisah anak laki-laki yang belajar di pesantren tersebut disampaikan lewat film bertajuk “Mondok”.

 

Dalam film yang tayang di TVRI Rabu (16/9) ini dikisahkan sosok anak laki-laki yang suka mengerjai guru dan teman-temannya. Rayhan, namanya. Teman-teman dan gurunya tidak tahan akan kelakuan nakalnya. Ia akhirnya dikeluarkan dari sekolah.

Pak Herman dan istrinya pun kalang-kabut mencarikan sekolah anaknya. Semuanya menolak ketika melihat catatan buruk Rayhan, hingga kemudian ada usulan untuk menyekolahkannya di pesantren.

Ibu Rayhan masih beranggapan pesantren itu kurang cocok untuk anaknya. Ia juga was-was anaknya bakal dididik jadi radikal. Tapi ia juga tak ingin Rayhan putus sekolah. Akhirnya ia dan suaminya berkeliling mencarikannya pesantren. Apalagi Rayhan meminta syarat pesantren tersebut juga memiliki fasilitas bermusik bagi anak didiknya.

Menata Citra Pesantren
Citra pesantren yang kolot dan kuno mulai terhapus berkat film “Negeri 5 Menara”. Dalam film tersebut murid-murid tak hanya belajar ilmu agama, namun juga dididik agar berwawasan luas.

Kini tak sedikit pesantren yang dikelola modern. Para murid bisa mendapatkan pengetahuan umum sambil mondok belajar ilmu agama.

Namun memang sejak maraknya aksi radikal, citra pesantren juga sempat tercoreng. Nah, dalam film garapan Dedi Setiadi ini ,anggapan tersebut coba dihapus lewat dialog antara ibu Rayhan dan tetangganya. Seorang ibu menyarankan agar memilih pesantren yang benar. Ia juga meluruskan istilah ‘fanatik’ yang sering salah kaprah di kalangan masyarakat.

Kesan pesantren tempat anak-anak ‘buangan’ dan pilihan kesekian ini juga ditepis oleh Kiai Ahmad Dhani. Ia terus menegaskan akhlak adalah sesuatu yang penting bagi anak-anak untuk bekal kehidupannya kelak.

Dialog yang ringan dan menstimulasi tawa, juga tingkah Rayhan yang menyebalkan tapi juga kocak membuat film “Mondok” ini nyaman dinikmati, pesannya sampai, tapi penonton tidak dibiarkan keningnya berkerut-kerut. Penggunaan nama Ahmad Dhani sebagai pemilik pesantren juga merupakan poin yang cerdik untuk menggelitik rasa penasaran penonton.

Dari segi akting, sinematografi, maupun tembang soundtrack, menurutku filmnya biasa saja. Akting Agus Kuncoro yang paling menonjol di sini.

Namun apresiasi patut disematkan terhadap penggalian dan dinamisasi karakter Rayhan. Dari bocah yang nakal ia tak serta-merta menjadi anak pondok yang rajin. Transisinya terlihat di sini.

Pustekkom dan Semangat Membuat Film
Ini film kesekian produksi Pustekkom (Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan) Kemdikbud yang kutonton di TVRI. Mereka memproduksi film panjang dan film pendek yang umumnya memiliki konteks edukasi, nilai kelokalan, dan sosial masyarakat. Film-film karya Pustekkom yang kutonton di antaranya “Tanah Cita-Cita”, “Musik dari Pesisir”, “Sarmin”, dan “Mondok”.

Rata-rata film produksi Pustekkom memiliki jalan cerita yang sederhana dan mudah dicerna. Hal ini dikarenakan sasaran penontonnya adalah anak-anak dan masyarakat umum.

Mereka juga mencoba menyelipkan pesan-pesan moral dan edukatif di dalam filmnya meski kadang-kadang dari segi dialognya ada yang terasa masih kurang natural. Tapi semangat berkreasi Pustekkom patut diapresiasi dan semoga terus aktif berkarya.

Gambar: Pustekkom Kemdibud/TVRI

Iklan

~ oleh dewipuspasari pada September 18, 2020.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

 
%d blogger menyukai ini: