Muatan yang Kaya dalam “Rumah di Seribu Ombak”, Toleransi, Predator Anak, dan Bom Bali
“Laut itu rumahku,” – Yanik
Adalah Yanik dan Samihi, dua anak laki-laki yang berbeda agama. Wayan Manik alias Yanik (Dedey Rusma) beragama Hindu dan Samihi (Risjad Aden) seorang pendatang muslim. Mereka bersahabat setelah Yanik menyelamatkan Samihi dari anak-anak nakal yang mengerjainya. Kisah persahabatan keduanya kemudian bergulir.
Keduanya punya beban masing-masing. Yanik putus sekolah karena harus membantu ibunya mencari uang, sementara ayahnya menikah lagi dan ibunya sakit-sakitan. Sedangkan Samihi begitu takut dengan air. Ayahnya melarangnya bermain jauh-jauh dan berenang, ia selalu mengingatkannya pada pesan almarhum ibunya.
Persahabatan mereka kemudian diuji. Yanik menceritakan kejadian kelam yang pernah dialaminya. Ia meminta Samihi menyimpan cerita itu rapat-rapat. Lalu terjadi peristiwa dan Yanik menghilang. Tak lama berselang bom Bali membuat warga Bali pun gempar.
Film yang Sarat Muatan
Aku tak punya ekspektasi apapun tentang film ini. Kupikir film ini adalah film sederhana tentang persahabatan dengan latar panorama pantai di Bali yang indah.
Memang benar film ini tentang persahabatan dengan kamera yang menangkap gambar-gambar indah tentang pantai, ombak, dan kawanan lumba-lumba yang jinak. Namun, rupanya tak hanya itu, film ini sarat muatan.
Persahabatan yang ditampilkan menunjukkan persahabatan tanpa membedakan agama antara Yanik dan Samihi. Yanik tak segan mandengarkan Samihi belajar tartil Al-Qur’an dan mengomentarinya. Ia juga dengan santai ikut perayaan Idul Fitri dengan memukul bedug dan bermain kembang api.
Begitu pula dengan Samihi. Ia pun mengikuti saran Yanik untuk belajar olah nafas dan vokal agar kemampuan tartilnya meningkat ke seorang guru kidung.
Cerita kemudian makin serius dengan isu pedofilia oleh wisatawan asing. Rupanya penulis cerita dan sutradara, Erwin Arnada, jeli dengan kasus yang pernah dialami anak-anak di Bali yang dilakukan wisatawan asing dan mulai terungkap pada tahun 2001. Ia juga menambahkan peristiwa bom Bali. Untungnya cara penyampaian dua muatan tersebut tetap ringan sehingga penonton tidak perlu mengerutkan dahi ketika menyimaknya.
Warna-warna dalam film yang meraih empat piala Citra ini terlihat lebih redup dan suram, sepertinya sutradara ingin menunjukkan cerita tersebut merupakan kilas balik dan ceritaya mengandung kisah kelam yang dimiliki tiap-tiap tokoh utamanya.
Dari segi cerita, film ini menarik dan kaya pesan tanpa menggurui. Akting para pemainnya juga patut diapresiasi terutama Dedey Rusma yang berperan sebagai Yanik anak-anak. Ia nampak begitu luwes berakting dan karakternya mudah dicintai penonton. Oh iya rupanya ada sosok Jerinx drummer Superman is Dead alias I Gede Ari Astina dalam film ini. Ia berperan sebagai kepala adat bernama Ngurah Panji.
Film ini sebenarnya akan lebih bagus lagi jika sosok Yanik dewasa konsisten dengan Yanik pada masa anak-anak. Di sini karakter Yanik dewasa dan anak-anak terasa begitu jomplang, seperti dua orang yang berbeda. Meskipun digambarkan perubahan karakter ini dikarenakan kesedihan berturut-turut yang menimpanya.
Penutup film ini juga tak disangka-sangka. Akhir film yang membuat penonton memiliki ruang untuk berdiskusi dan menyimpan tanda tanya. Skor: 7.5/10.
Sumber Gambar: Detik, iRadio, dan IndonesianFilmCenter