Parang Jati dan Spiritual Jawa


Sejak membaca “Bilangan Fu”, aku jadi suka dengan Ayu Utami. Padahal sebelumnya ada “Saman”, “Larung”, dan “Parasit Lajang” yang juga kubaca. Aku jadi suka dengan karya Ayu Utami karena ia menyinggung budaya Jawa, seperti candi-candi, olah rasa, dan kebatinan Jawa.

Saat ini rasanya tak sedikit orang Jawa yang lupa ‘Jawa’-nya. Entah sejak kapan muncul persepsi kurang bagus kepada mereka yang mempelajari ilmu kebatinan dan mempraktikkan kejawen ke dalam kehidupannya sehari-hari.

Kejawen adalah spiritual Jawa. Ia adalah tradisi dan filosofi yang dianut oleh mereka yang beretnis Jawa. Kejawen mengenal weton dan primbon serta nilai-nila yang jadi pegangan hidup.

Ketika aku dewasa, aku makin menyadari kejawen adalah ilmu luhur yang tidak mudah. Primbon seperti menghitung hari baik, termasuk menentukan hari baik pernikahan adalah sebuah ilmu yang didapatkan karena pengamatan dan pengalaman. Ia semacam ilmu statistik zaman dulu.

Olah rasa, tata laku kejawen adalah warisan nenek moyang yang luhur. Oleh karenanya aku merasa sedih ketika makna kejawen belakangan ini didegradasi oleh kalangan tertentu.

Dengan alasan itu, aku menyukai buku-buku “Bilangan Fu” dan setelahnya. Aku mengagumi karakter Parang Jati. Di sini dikisahkan ia adalah putra angkat dari pemilik padepokan ilmu kebatinan.

Ia mahasiswa ITB, pemanjat tebing profesional, yang berpikiran terbuka. Pengetahuannya tentang candi-candi Jawa Tengah dan candi-candi Jawa Timur begitu luas, termasuk dengan mitos dan kisah-kisah relief di dalamnya.

Ia mengagumi sosok ayahnya. Seorang yang ternama untuk ilmu kebatinan. Padepokannya banyak dipilih oleh mereka yang ingin belajar, merasa gundah, sedang sakit, hingga sedang disantet. Parang Jati kadang-kadang dimintai ayahnya mendampinginya.

Ia mengajari putranya tentang olah rasa. Ilmu rasa dari Jawa sangat berbeda dengan ilmu rasa di India dan negara-negara lainnya. Ia bukan tentang indera pengecapan. Ia ilmu yang lebih kompleks dari itu.

Tentang ilmu rasa dari Parang Jati aku belum selesai membacanya. Ia ada dalam buku berjudul “Anatomi Rasa”.

Aku membayangkan padepokan tempat Parang Jati besar sebagai tempat yang luas dan rindang, dengan rumah joglo yang punya halaman luas. Di sana ada yang sedang bermeditasi, berolah nafas dan gerak, atau sedang berpuasa bicara.

Ehm…kenapa aku merasa tak asing dengan itu?

Gambar dari Good News From Indonesia

Iklan

~ oleh dewipuspasari pada Juni 12, 2021.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

 
%d blogger menyukai ini: