“Mio’s Cookbook”, Drama Kuliner yang Terasa Hambar
Ada tiga film kuliner yang bisa dinikmati di JFF 2022. Salah satunya yang baru kutonton adalah “Mio’s Cookbook”. Film ini berlatar di Osaka pada jaman feodal.
Film ini mengisahkan Mio dan Noe. Mio sejak kecil bersahabat dengan Noe. Suatu ketika Noe diramal akan menjadi orang besar. Sedangkan Mio diramal akan melalui sejumlah penderitaan sebelum ia menemukan langit biru.
Keduanya terpisah ketika banjir besar. Mio kemudian diasuh seorang pemilik restoran di Edo. Sedangkan Noe menjadi geisha kelas atas.
Mio kemudian belajar memasak. Ia menggabungkan selera Edo dan selera Osaka, kampung halamannya. Ia berjuang keras agar masakannya dan restoran mereka dikenal.
Sebuah Drama Kuliner yang Terasa Hambar
Biasanya aku menyukai drama kuliner karena bisa membuatku tergoda akan cita rasa yang ditampilkan. Namun sayangnya “Mio’ Cookbook” gagal menghadirkan hal tersebut.
Premis ceritanya menarik. Sayangnya eksekusinya kurang berhasil. Miskin emosi dan karakternya utamanya gagal menarik simpati.
Sajian masakannya hanya ditampilkan sekelebat. Proses memasaknya kurang berhasil membuatku merasa tergiur, seperti halnya drama kuliner pada umumnya.
Mio di sini tak nampak bergairah. Wajahnya selalu nampak lesu dan cemberut, seperti kurang berhasrat hidup. Dalam soal memasak, ia juga tak nampak menggebu-gebu.
Film ini terasa datar dan agak menjemukan karena kurang bernyawa dan kurang emosional. Sosok pengawal Noe yang selalu meminta dibawakan masakan Mio malah lebih menarik. Begitu pula dengan dongeng rubahnya, dengan kuil yang khusus rubah yang ada di sana. Eh kenapa ada kuil rubah ya?
Film ini dibesut Haruki Kadokawa dan diperankan Matsumoto Hanoka dan Nao. Skor: 6/10
Gambar dari Japanese Film Festival