“KKN di Desa Penari”, Atmosfer Horor Kurang Mencekam, Visual Memanjakan Mata
Awal mula membaca utas “KKN di Desa Penari” SimpleMan, benak berkhayal liar, membayangkan perjalanan malam hari dari Jember ke Banyuwangi dan kemudian tiba di sebuah desa yang terpencil. Entah di mana desa itu berada, namun cerita ini berhasil menyihirku. Terutama di bagian ketika Widya pada malam hari mengalami petualangan bertemu penghuni desa ghaib. Oleh karenanya ketika film ini akhirnya tayang, aku rasanya tak sabaran menontonnya.
Beruntung aku mendapatkan tiket Gala Premier di Epicentrum. Kemudian beberapa hari lalu sempat wawancara dengan Awi Suryadi, si sutradara secara daring.
Pada dua artikel yang kubuat, aku belum berani menuliskan ulasannya secara lengkap. Ya, karena pada yang pertama filmnya belum tayang secara reguler. Dan pada artikel berikutnya, aku lebih fokus dengan isi wawancara super dadakan tersebut.
Artikel pertama di sini. Dan artikel kedua berikut ini.Â
Oke kali ini aku akan nulis ulasan lumayan panjang tentang film “KKN di Desa Penari”. Siapkan kopi dan camilan agar kalian tak ngantuk membacanya.
Cerita berawal dari tiga orang, Nur (Tissa Biani), Ayu (Aghniny Haque), dan kakaknya, Ilham (Andri Mashadi) ke sebuah desa terpencil yang berada di tengah-tengah hutan. Mereka disambut Pak Prabu (Kiki Narendra), pimpinan desa setempat yang juga kawan kakak Ayu.
Si kakak, Ilham, mengutarakan maksud kedatangannya. Ketika mengetahui desanya akan dijadikan lokasi KKN, Pak Prabu menolak namun ia tak mengutarakan alasannya secara gamblang.
Nur nampaknya paham dan bisa menerima. Ia sendiri mulai tak nyaman ketika memasuki desa tersebut. Namun lain halnya dengan Ayu. Ia ingin cepat lulus. Ia pun membujuk Pak Prabu dan berjanji akan memenuhi seluruh ketentuannya. Pak Prabu luluh dan kemudian menerimanya.
Singkat kata kemudian datanglah rombongan peserta KKN. Selain Nur dan Ayu, ada Widya (Adinda Thomas), Wahyu (Fajar Nugraha), Anton (Calvin Jeremy), dan Bima (Achmad Megantara). Mereka terkejut melihat lokasi desa yang terpencil. Widya sendiri merasa aneh karena selama perjalanan di hutan ia mendengar musik gamelan, di mana rupanya hanya Nur yang juga mendengarnya.
Ya itu baru sambutan dari ‘penghuni’ kawasan tersebut. Selanjutnya mereka pun disambut lebih ‘meriah’ dan diuji. Apakah mereka bakal selamat?
Ulasan berikut bakal mengandung spoiler.
Film ini setia menggunakan alur seperti dalam utas yang dibuat SimpleMan. Seperti dalam wawancara, SimpleMan memang dilibatkan selama produksi untuk menjaga agar cerita tetap di koridor.
Memang ada beberapa tambahan adegan di sini untuk memperjelas hal-hal yang belum diceritakan di utas. Alasan nisan berkain hitam juga lebih gamblang dikupas dalam film.
Oleh karena utas ala SimpleMan menggunakan dua sudut pandang, Nur dan Widya, maka bagi penonton awam mungkin jadi agak membingungkan dan terasa kurang nyaman.
Menurutku lebih pas jika tokoh utamanya dan gaya bercerita dalam film dipilih salah satu, antara Nur atau Widya. Bisa juga saat bagian sudut pandang Widya, dikisahkan saja secara flashback. Atau sebaliknya.
Oleh karena berupaya setia dengan utas, hal ini bermasalah dengan tempo bercerita yang terasa lambat di awal lalu terburu-buru di akhir. Tempo berceritanya jadi kurang terjaga.
Ada bagian di versi uncut, yakni ketika Widya mandi yang begitu lama dan sebenarnya kurang signifikan. Bagian ketika mereka menjalankan proker juga kurang ditampilkan, sehingga acara KKN-nya hanya seperti tambalan.
Masih berkaitan dengan alur, entah kenapa ceritanya terasa kurang runtut. Ada bagian yang terasa melompat. Lalu atmosfer horornya juga kurang terbangun dengan baik. Rasanya datar.
Paling yang terasa bikin seram di dalam film yakni di bagian akhir ketika Widya menjalani petualangan malam bertemu ‘penghuni desa ghaib’. Ini cukup menegangkan.
Atmosfer horor yang kurang mencekam ini jadi minus film ini. Mengingat Awi Suryadi sebenarnya punya pengalaman yang patut diacungi jempol dalam membangun nuansa seram lewat filmnya “Badoet” dan “Sunyi”.
Poin Plusnya
Di atas tadi adalah kekurangannya. Untuk poin plusnya juga ada. Dan poin plusnya ini berhasil menutupi kekurangan film sehingga filmnya masih termasuk layak untuk direkomendasikan.
Gambarnya ini lho cakep banget. Visualnya memanjakan mata, dari ketika lewat jembatan masuk hutan. Kemudian ada visual pergantian malam ke terang yang terasa dramatis. Juga tone warnanya yang terasa nyaman di mata.
Oh iya rupanya ada teknik pengambilan gambar yang menurut Awi adalah trademark-nya. Juga ada sesuatu yang sebenarnya merupakan simbolisasi. Kalian bisa baca di artikel wawancaranya.
Poin plus kedua adalah dari sisi pemain. Untuk pemain KKN lumayan, meski logat Tissa masih kurang medhok.
Yang paling kuapresiasi adalah penampilan Kiki Narendra dan Diding Boneng di sini sebagai Pak Prabu dan Mbah Buyut. Ini sungguh kejutan. Sudah lama tak melihat Diding Boneng. Biasanya ia juga bagian melawak, eh di sini ia jadi sosok dukun yang serius. Dialognya juga lumayan banyak. Pemeran Badarawuhi juga oke, cantik, seksi, dan terkesan misterius.
Dari musik latar juga okelah. Kostum penarinya bagus, makeup juga lumayan sehingga Adinda Thomas dan lainnya terlihat masih cocok jadi mahasiswa. Sosok mbah Dok juga nampak lumayan seram.
Omong-omong banyak yang berharap ada spin-off, entah awal mula desa, sosok Badarawuhi, atau malah sosok mbah Dok yang akan dibuat. Dengar-dengar “Sewu Dino” Simpleman juga akan diangkat ke layar lebar.
Saat ini “KKN di Desa Penari” sudah tembus 4,5 juta penonton. Wah ia sudah mengalahkan “Pengabdi Setan” (2017). Bisa jadi ia menembus angka 5 juta penonton atau siapa tahu bisa mengalahkan rekor “Warkop DKI”.
Gambar milik MD Pictures dan Twitter/Awi Suryadi