Tanpa ISBN
Beberapa hari lalu aku banyak mendapat kiriman buku. Kebanyakan buku yang kutulis rame-rame. Salah satunya merupakan buku dengan tema tentang doa.
Buku tersebut merupakan proyek menulis secara kolektif dari sebuah kelompok penulisan. Mereka sangat produktif. Tiap minggu mereka merilis judul baru lalu kemudian mengajak para penulis untuk ikut bergabung dengan proyek menulis keroyokan tersebut.
Mirip-mirip dengan proyek antologi buku yang pernah kuikuti, rata-rata isinya tentang pengalaman pribadi. Ada sih yang berupa cerpen namun jarang.
Temanya rata-rata mudah, tentang hal sehari-hari. Sehingga, siapapun bisa menulisnya. Tidak perlu mikir panjang karena tinggal nulis dan cerita apa yang kamu pernah alami dan kamu pikirkan.
Awalnya aku begitu bersemangat untuk mengikuti proyek buku ini. Juga proyek-proyek buku yang diadakan oleh kelompok menulis lainnya. Hingga kemudian Perpusnas menerapkan seleksi yang ketat untuk mendapatkan ISBN. Alhasil tak setiap buku yang diajukan akan mendapatkan ISBN.
Buku dari kelompok menulis tersebut kemudian tak mendapat ISBN karena dicetak secara terbatas dan dianggap untuk kalangan kelompok. Sedih. Ya sedih. Oleh karena ada sekitar 10 proyek buku dari kelompok tersebut yang kuikuti. Namun, bukan hanya kelompok tersebut yang bernasib malang, ada juga beberapa penerbit dan kelompok penulis lainnya yang kuikuti bernasib serupa.
Dari tanya-tanya ke beberapa kelompok penulisan, ada beberapa sebab mengapa Perpusnas semakin selektif. Yang pertama demi menjaga kualitas buku. Yang kedua, ISBN ditujukan untuk buku yang dijual secara publik, bukan untuk dijual secara terbatas. Dan yang ketiga, ada beberapa penerbit yang tidak menyetorkan kewajiban dua buku per judul untuk arsip dan koleksi Perpusnas.
Memang sih saat ini siapapun bisa mencetak buku. Alhasil tak sedikit buku yang terkesan asal jadi, asal ada duit.
Tapi jujur adanya seleksi ISBN ini membuat moodku untuk menulis dan membuat buku jadi menurun. Aku jadi was-was jika ditolak ISBN. Ya, bukan hanya masalah gengsi tapi siapa sih yang tak ingin bukunya dipajang di website Perpusnas atau muncul di iPusnas. Tentu harapan penulis juga ada kemungkinan bukunya dipajang di toko buku dan dibeli banyak orang.
Waktu bukuku berjudul “Kisah-kisah Perjalanan: Tak Sekadar Berwisata” muncul di website Perpusnas aku senang sekali. Kuharap buku-buku lainnya juga suatu ketika bisa muncul di sana, sehingga bisa dibaca banyak kalangan.
Saat ini ada banyak proyek menulis yang tak kuikuti. Aku juga jadi lebih selektif. Ada beberapa yang kuterima meski tanpa ber-ISBN karena tak enak menolak. Ya siapa tahu meski tanpa ISBN tetap bisa laku untuk dijual karena QRCBN juga memiliki kode sehingga buku dengan QRCBN juga bisa ditelusuri datanya.
Kini ada lagi ajakan membuat buku. Ada yang buku solo dan ada juga buku keroyokan. Ehm ya sudah kucoba saja sambil melatih menulis juga untuk portofolioku.
Gambar: clipart library dan dokpri
senasib mba tapi semangat menulis terus mbaa
Hehehe iya, untuk yang non ISBN aku kurangi dulu, tapi ada yang tetap ikut untuk mendukung mereka agar terus aktif menulis.
Ikuutt mbaaa xixixi
Saya termasuk pengguna setia Ipusnas dan memang banyak buku dr penerbit indie/minor yg muncul di sana. Semangat berkarya mbak 😇
Pernah ikut antologi gitu, dapat ISBN.
Entah pengurusannya gmana, hanya setor tulisan cerpen 2x.