Potret Bencana Alam dalam Film Omnibus “Sabda Alam”
Indonesia negeri yang kaya gunung berapi sehingga disebut ‘ring of fire”. Gempa bumi menjadi bencana alam yang memakan korban terbanyak di Indonesia, disusul dengan bencana alam lainnya seperti banjir. Potret tentang masyarakat dan bencana alam ini hadir dalam sebuah film omnibus berjudul “Sabda Alam”.
Seperti jenisnya yaitu omnibus, maka film ini terdiri dari rangkaian film-film pendek yang memiliki benang merah yaitu bencana alam. Ada enam film dalam “Sabda Alam”. Keenamnya adalah “05.55”, “Harap Tenang Ada Ujian!”, “Home Sweet Home”, “Jakarta 2012”, “Pranata Mangsa”, dan “Errorist of Season”.
Film “05.55” menjadi film pembuka yang menarik. Ia ditampilkan dengan format hitam putih yang menonjolkan suasana sebelum gempa bumi dahsyat terjadi di Yogyakarta pada Mei 2006.
Film besutan Tiara Kristiningtyas dan Mohammad Azri ini menampilkan aktivitas keseharian masyarakat desa Bantul sehari sebelum terjadi gempa bumi berkekuatan besar. Mereka melakukan kegiatan sehari-hari seperti menyapu, duduk-duduk merokok, mengasuh anak, mencuci panci, dan menjemur pakaian. Tak ada yang menyangka kemudian bakal terjadi bencana yang benar-benar mengubah hidup mereka.
Tanpa dialog, film ini berhasil menonjolkan suasana sebelum dan sesudah terjadi bencana. Perubahannya sungguh drastis. Gambar-gambar dalam warna hitam putih memperkuat pesan.

“05:55” tentang gempa Yogya (sumber: genmuda)
Film berikutnya garapan Ifa Isfansyah yang berhasil meraih piala citra. Di sini ditampilkan sisi lain dari gempa bumi Yogya lewat “Harap Tenang Ada Ujian”. Titik beratnya sosok anak kecil yang diperankan brilian oleh Muhammad Fendi Riyadi.
Anak kecil tersebut sedang belajar untuk mempersiapkan ujian sekolah. Ia belajar tentang masa kependudukan Jepang. Esoknya terjadi gempa dan ia kehilangan rumah serta ayahnya. Tapi ia masih tetap tekun belajar di dalam sebuah kardus.
Hingga suatu ketika ia melihat dua pemuda Jepang. Ada bendera di dekat tenda mereka. Entah kenapa ia berasosiasi negerinya kembali dijajah Jepang. Ia pun mengusir mereka dengan ketapelnya. Keterbatasan bahasa membuat keduanya tak saling memahami. Dua pemuda Jepang pun memilih pergi yang dirayakan si anak kecil sebagai langkah kemenangannya.
Cerita kocak. Dialog bahasa Jawanya sederhana dan khas anak-anak. Puncak kekocakan adalah dialog yang dilontarkan si anak kecil di bagian akhir. Film ini menyodorkan kepolosan anak-anak dan rasa nasionalisme dengan latar persiapan ujian.
“Home Sweet Home” juga menampilkan sisi lain dari gempa. Film ketiga ini memiliki pesan yang berat yakni tentang masalah yang menimpa kaum pengungsi karena bencana dan juga sikap birokrat yang kurang empati kepada mereka. Adegan seperti anak kecil yang menemukan boneka beruang yang masih utuh di kawasan yang telah luluh lantak terasa kontras dan menyentil di sini.

Sholat meminta hujan dalam “Pranata Mangsa” (sumber” /jaff-filmfest)
Isu tentang perubahan iklim juga disorot. Bagaimana perubahan iklim membuat seorang petani tua kebingungan dalam “Pranata Mangsa”. Gambar-gambar disajikan kontradiksi, berhasil menampilkan situasi yang disampaikan. Seperti musim hujan tapi digambarkan masyarakat kesulitan air.
Dua film lainnya, “Jakarta 2012” dan “Errorist of Season” membidik banjir di Jakarta. Respon masyarakat terhadap banjir beragam. Ada yang pasrah dan memilih bersikap santai. Ada pula yang mencoba mencari peluang bisnis di dalamnya.
“Sabda Alam” berhasil merangkum kondisi dan tanggapan masyarakat terhadap bencana alam. Ada yang trauma, pasrah, dan ada pula yang mencoba meraih peluang di balik kesulitan tersebut.
sumber gambar atas: Layar Indonesia