Tumpangan Cuma-Cuma
Dulu waktu masih duduk di bangku sekolah rejeki yang tak disangka-sangka adalah tumpangan gratis. Ongkos naik angkutan dulu masih di bawah seribu sekali jalan buat anak berseragam. Tapi karena uang saku juga tak banyak, maka rasanya senang bila ongkos gratis.
Ongkos gratis ini beberapa kali kurasai ketika kebetulan seangkot dengan tetangga atau saudara. Sebelum aku turun, tetangga langsung memberitahu pengemudi, Pak ongkosnya belakang, pertanda ia yang akan membayarnya. Aku pun memberi ucapan terima kasih dengan wajah sumringah.
Asyik duitnya bisa kukumpulkan untuk beli buku atau majalah bekas, pikirku.
Rejeki juga pernah menghampiri ketika angkot yang hanya mengangkutku tiba-tiba mogok. Ia menolak uangku karena memang sebenarnya rutenya masih panjang. Ini baru sepersekian rute perjalanan. Ia menyarankanku menunggui angkot berikutnya.
Eh lokasi angkot mogok itu tak jauh dari rumah saudaraku. Alhasil aku pun mampir ke rumah saudara. Budeku itu pandai memasak. Aku pun makan siang di rumahnya, lalu lanjut pulang dengan berjalan kaki sekitar sekiloan ke rumah.
Hehehe rejeki. Ongkos dan makan siang enak gratis. Tapi sebenarnya kasihan juga pengemudi angkotnya. Apes, penumpang sepi dan mobilnya mogok.
Nah waktu jadi kuli tinta aku merasai taksi gratis. Ini sungguh tak kukira.
Waktu itu aku dapat tugas melakukan wawancara di tempat yang jauh. Di kawasan Surabaya elit di daerah barat. Aku cek tidak ada angkutan umum sampai ke tempat tersebut. Ya mau tak mau aku harus naik taksi.
Pengemudi tersebut menanyakan keperluanku. Aku jawab jujur. Lalu ia menanyakan kapan aku kembali. Aku bingung maksud pertanyaannya, aku jawab sekenanya.
Aku berencana untuk naik angkot selepas wawancara karena uangku tak banyak. Toh aku sudah tahu tempatnya. Bisa jalan ke luar kompleks baru naik angkot.
Aku terkejut ketika ART dari tuan rumah memberitahuku ada taksi yang menungguku. Hah aku kan tidak pesan. Tapi karena kasihan juga sekaligus penasaran aku pun ke luar dan mendapati pengemudinya sama dengan yang mengantarku tadi.
Ia langsung membawaku ke arah kantor. Aku yang belum ada agenda mencari berita pun setuju saja. Selama di perjalanan aku memeras otak, berita apa saja yang bisa kutulis hari ini selain wawancara tadi.
Kami punya target jumlah berita harian. Maklum kami bekerja di media harian. Berita kemarin tentunya akan basi kecuali jenis feature.
Sudahlah yang penting aku mengetik dan setor dulu beritaku yang ini, setelah itu aku bisa cari lagi berita yang lain.
Masa itu smartphone masih sesuatu yang asing. Mengetik ya di rental komputer atau warnet. Membawa laptop juga masih belum jadi kebiasaan.
Selama di perjalanan, pengemudi itu suka mengajakku mengobrol. Ia juga menawariku kacang. Aku terima-terima saja. Aku lagi malas mengenakan topeng.
Lalu ketika taksi tiba di pelataran kantor, ia menolak uangku. Ia hanya bilang selamat bekerja. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Mobilnya lalu memutar dan menghilang dengan cepat.
Aku tak tahu nama pengemudinya. Aku juga tak pernah lagi bertemu dengannya. Sekali lagi terima kasih sudah mengantar.
Gambar dari buku Little House