Hujan dan Semangkuk Sop Sapi
Hujan terus mengguyur membuat malam terasa sejuk. Di luar jalanan lengang membuatku sumringah karena aku jadi bisa lebih cepat tiba ke rumah setelah berbelanja. Ketika melihat tenda penjual sop sapi, kami pun singgah.
Hujan rasanya membuat kami cepat lapar dan ingin menyantap sesuatu yang berkuah dan hangat.
Sop sapi itu pun datang. Dengan segelas teh manis hangat. Awalnya kami ingin bungkus tapi karena pengunjung tak banyak maka kami pun makan di tempat.
Ketika melihat penampilan sop daging sapi itu aku tercekat. Minimalis dan apa adanya.
Di dalam semangkuk sop terdapat irisan wortel, potongan kentang, dan daun bawang cincang. Juga tentunya daging sapi yang dipotong kecil-kecil.
Rasa kuahnya standar. Bumbunya paling-paling bawang putih dan merica, plus penyedap rasa. Tapi karena lapar dan hujan rasanya jadi cukuplah enak. Hanya dagingnya masih agak keras.
Tak apa-apalah aku lapar dan makanan berkuah adalah jawaban yang tepat. Lalu aku terkejut ketika menanyakan harganya.
Dengan semangkuk sop sapi, daging, dan teh manis hangat rasanya harganya terlalu mahal. Rasanya sungguh standar, suguhan minimalis dan daging sapi yang agak keras.
Kesan sedapnya sop sapi hangat yang cocok disantap pada saat musim hujan jadi memudar. Aku jadi menyesal. Mending beli pecel lele atau ketoprak bisa dapat tiga buah. Tak apa-apalah lain kali tak lagi singgah ke sana. Dan akhirnya aku beli lele goreng dua buah.
Hujan telah berhenti dan kulihat Nero menunggu di ujung gang. Kucingku itu nampak sedih karena aku tak masak ikan.
Kupanggil ia, ia mengikutiku ketika kudekatkan lele. Akhirnya kucingku berempat pesta lele goreng. Nero, Kidut, Mungil, dan Cipung berbagi ikan lele goreng. Nero dapat kepala yang masih banyak dagingnya. Ia nampak gembira.
Melihat Nero gembira aku jadi ikut senang. Akhirnya kami semua bergembira. Kidut lalu tidur nyenyak.