Surat dari Ibu

surat

Surat dari Ibu pernah kuterima pada saat aku masih duduk di bangku kuliah di Surabaya. Surat itu kuterima dengan jantung berdegup dan was-was. Ada apakah hingga Ibu mengirim surat? Bukankah ia bisa menelpon pada pagi dan malam hari di mana aku ada di kosan. Surat itu kubuka perlahan-lahan dan kubaca isinya.

Aku tak pernah menerima surat dari Ibu sebelumnya. Sejak remaja hubunganku dengan Ibu dekat, namun tak intim. Kami sangat jarang mengucapkan kata-kata sayang, aku peduli, dan sebagainya. Aku juga jarang memeluk dan dipeluk oleh Ibu masa-masa itu.

Tak ada kata-kata sayang di antara kami, tapi aku tahu ibu menyayangiku. Demikian pula dengan perasaanku kepada ibu.

Ibu selalu ada untukku. Ia menemaniku jika aku belajar hingga tengah malam.Sering kali kuperhatikan ia sudah tertidur nyenyak di sofa di dekatku, sementara aku masih sibuk menghafal ayat-ayat dan maknanya atau menyelesaikan soal-soal fisika.

Kuliahku di Surabaya adalah hasil kompromi. Ibu sangat menginginkanku untuk masuk jurusan kedokteran di Malang. Itu adalah mimpinya dan sayangnya anak-anaknya tak ada yang memiliki mimpi sama dengan dirinya. Bukankah mudah bagimu untuk masuk jurusan kedokteran? Ibu bertanya.

Aku menggeleng bukan masalah sulit mudahnya. Aku hanya jenuh di Malang, aku bosan sekolahku ditentukan sejak SD, SMP, dan SMA, semuanya sama dengan kedua kakakku.

Ketika memutuskan merantau barulah aku menyadari makna rumah dan ibu bagiku. Aku jadi merasa mudah rindu, sesuatu yang dulu tak pernah terjadi padaku. Aku selalu merindukan masakan-masakan nenek dan ibu, kabar kucingku, dan ini itu di sela-sela tugasku yang bejibun.

Aku tak tahu apakah jika aku masuk kedokteran apakah aku mengalami rasa rindu seperti itu, ataukah aku tetap memiliki rasa biasa-biasa saja seperti kala aku selalu tinggal satu rumah dengan ortu.

Surat dari Ibu itu kubaca. Air mataku mengalir seperti yang kualami saat ini ketika menulis tentang Ibu. Aku jadi ingat betapa keras kepalanya aku, betapa suka membangkangnya aku kepada saran-saran ibu. Jangan-jangan keinginanku untuk kuliah di Surabaya ini juga wujud pembangkanku yang natural. Aku mungkin hanya tak suka diperintah.

Ibu jarang menulis surat kepadaku. Surat itu sangat personal bagiku. Mungkin itu surat satu-satunya yang kuterima dari Ibu.

Jarak kami semakin jauh. Tapi kini aku tak lagi ragu mengucapkan kata rindu dan sayang yang dulu serasa tabu. Aku sayang Ibu. Selamat hari Ibu.

Gambar dari pixabay/Atlantios

~ oleh dewipuspasari pada Desember 22, 2020.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

 
%d blogger menyukai ini: