“Pendekar Tongkat Emas”, Sinematik dan Jajaran Pemain Berkelas, Namun Cerita Cenderung Klise

Pendekar tongkat emas

Pertemuan, dua aktor bertalenta, Nicholas Saputra dan Reza Rahadian dalam satu frame film tentunya banyak diharapkan oleh para fans. Ketika kemudian Miles Films mengabulkannya pada tahun 2014 lewat film “Pendekar Tongkat Emas”, sayangnya responnya tak sesuai prediksi. Penonton tak mencapai target. Bisa jadi hal tersebut karena kurang promosi atau dikarenakan ceritanya yang cenderung klise?

Ceritanya tak jauh beda dengan cerita-cerita bela diri jaman dulu. Dalam sebuah perguruan ada eyang guru yang hendak mewariskan ilmu. Namun ia tentunya selektif dalam memilih pewaris ilmunya yang sangat digjaya. Ketika pilihan pewaris itu tak sesuai harapan, maka yang merasa lebih berhak pun kemudian menyusun rencana untuk melampiaskan balas dendamnya, baik ke eyang guru maupun si penerima warisan tersebut.

Cerita film yang memiliki judul internasional “The Golden Cane Warrior” ini relatif sederhana dan penutupnya bisa jadi mudah ditebak. Namun menurutku meski ceritanya agak klise, film ini tetap menarik untuk diikuti karena pernak-pernik dan perjalanan para tokohnya ini hanya ada dalam film ini. Apalagi jajaran pemainnya mewah dan latar panorama Sumbanya menakjubkan. Akting para pemainnya juga pas.

Reza Rahadian dan Tara Basro memerankan Biru dan Gerhana, dua sosok antagonis. Reza dengan kemampuan aktingnya, bisa masuk ke dalam sosok pendekar yang sakti namun juga keji. Demikian pula dengan Tara Basro, yang di sini dialognya relatif sedikit bila dibandingkan Reza.

Pendekar tongkat emas

Reza dan Tara menjadi dua murid Cempaka (Christine Hakim) yang takabur dan durhaka. Mereka meracuni gurunya dan kemudian menyerangnya. Namun, sebelum ia menghembuskan nafas terakhir, ia bisa menyelamatkan Dara (Eva Celia) yang ditunjuknya sebagai pewaris dan Angin (Aria Kusumah).

Dara dan Angin ditolong oleh seorang pendekar bernama Elang (Nicholas Saputra) yang rupanya putra Naga Putih, mantan suami Cempaka. Jurus Melingkar Bumi yang hendak diwariskan Cempaka rupanya adalah jurus berpasangan.

Ketika Angin tewas karena melindungi Dara, Elang pun kemudian melanggar sumpahnya dan berlatih jurus tersebut dengan Dara. Ketika jurus itu telah dikuasai, keduanya siap menantang Biru dan Gerhana yang telah menjadi sewenang-wenang.

Visualnya apik. Latar panorama Sumbanya mengagumkan. Jajaran pemainnya yang berkualitas, juga ada Whani Darmawan dan Slamet Rahardjo. Koreografi pertarungannya mungkin tidak nampak wah, pertarungannua nampak berhati-hati dan kurang energi, tapi tetap menarik disimak.

Ada beberapa kekurangan film ini selain jalan ceritanya yang biasa saja. Sumba seperti jadi latar saja, namun kurang tergali budaya Sumbanya. Dialeknya kurang dipakai. Kostumnya meski menawan lebih cenderung ke kostum pendekar kung-fu.

Pendekar tongkat emas

Sosok Angin juga lebih mirip pendekar kungfu dengan ilmu totok dan jurusnya. Memang sih dalam film bela diri jaman dulu juga biasanya ada pendekar kung-fu. Tapi agak disayangkan sih pada saat silat namanya makin mendunia, di film ini malah lebih dominan jurus ala-ala kung-fu.

Detail ini sih yang kurang tergali. Juga emosi dalam film ini. Terasa hampa.

Tokoh Dara terasa ‘kurang menonjol’ di sini. Ia nampak ‘tak bisa apa-apa’, hanya meratapi orang-orang mengorbankan dirinya untuk melindunginya. Ia sosok perempuan biasa, bukan jagoan perempuan yang biasa muncul dalam film-film laga. Tapi di satu sisi, ceritanya jadi lebih membumi karena sosok di dalam film ini juga punya sisi rapuh dan lemah, tidak selalu sempurna. 

Nicholas Saputra di sini sayangnya dapat peran Elang yang karakternya seperti Rangga. Dingin dan misterius. Sehingga kemampuan aktingnya terasa kurang tereksplorasi di sini. Transformasi yang menarik bagiku adalah Reza. Ia bisa jadi sosok antagonis yang bengis.

Pendekar tongkat emas

Di luar kekurangannya, film besutan Ifa Isfansyah ini patut disimak. Aku juga menikmati film ini. Jarang-jarang film Indonesia yang mengusung genre bela diri seperti ini, apalagi pada tahun 2014. Siapa tahu ke depan ada lagi film laga seperti ini dengan jurus bela diri yang lebih khas Indonesia dan nuansa lokal yang kental.

Aku memberi skor 7.5 karena sebenarnya aku suka film ini. Tapi ekspektasiku kala itu 8.0 – 8.5 karena melihat jajaran pemainnya dan juga sutradaranya. 

Gambar milik Miles Films

Iklan

~ oleh dewipuspasari pada Juni 24, 2021.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

 
%d blogger menyukai ini: