Publik Makin Takut Berpendapat di Era Digital?
Kapan kalian terakhir kali mengeluarkan pendapat secara bebas dan terbuka di blog pribadi kalian atau di akun medsos kalian? Omong-omong apakah kalian sempat merasa was-was ketika beropini?
Saya awalnya berpikir sejak hadirnya era reformasi disusul dengan pesatnya teknologi digital, maka publik semakin mudah untuk mengeluarkan pendapatnya secara terbuka. Namun, faktanya tidak demikian.
Berdasarkan hasil survei kebebasan berpendapat berdasarkan survei indikator politik pada tahun 2022 yang dirilis oleh Databoks Katadata, masyarakat rupanya makin was-was dalam menyampaikan pendapatnya. Ehm seperti apakah distribusi datanya?
Dalam survei yang dilaksanakan pada 11-21 Februari 2022 ini sampelnya 1.200 responden yang berusia 17 tahun ke atas. Sampelnya ditarik dengan menggunakan metode multistage random sampling.
Berdasarkan hasil survei, 64.9 persen respon merasa was-was untuk berpendapat. Selebihnya, 16.8 persen kurang setuju, 4.6 persen tidak setuju, dan 15.7 persen tidak tahu atau tidak menjawab.
Dalam survei ini juga ditanyakan seputar revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Rupanya 59,5 persen responden sepakat bahwa UU ITE perlu dilakukan revisi karena ada beberapa pasal yang riskan menjadi pasal karet dan dapat mengancam kebebasan berekspresi.
Memang ada banyak kasus yang menjerat netizen dengan adanya pasal karet dalam UU ITE. Umumnya mereka dijerat karena dianggap melakukan pencemaran nama baik. Yang terjerat bukan hanya netizen biasa, namun juga jurnalis.
Berdasarkan data yang dirilis di website Aptika Kominfo (17/9/2022), angka kasus UU ITE terus meningkat. Pada tahun 2016 terdapat 16 kasus. Tahun berikutnya ada 48 kasus. Pada tahun 2018 terdapat 96 kasus. Lalu pada tahun 2020 terdapat 217 kasus. Kemudian pada 2021 pada kuartal pertama terdapat 108 kasus.
Selain masalah penghinaan dan pencemaran nama baik (pasal 27), kasus yang kerap menimpa netizen ketika beropini di medsos adalah ujaran kebencian. Ini tertuang dalam UU ITE pasal 28 ayat 2 yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
Oleh karena pasal tentang pencemaran dan penghinaan juga ujaran kebencian dianggap multitafsir dan bisa menjadi pasal karet, maka banyak ahli hukum dan akademisi mengusulkan agar dilakukan revisi terhadap UU ITE tersebut.
Bagaimana kita menyikapi masih adanya pasal karet dalam UU ITE tersebut? Kebebasan berpendapat diatur dalam UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi dan pasal 28E ayat (3) yang isinya “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Sebenarnya kita tetap memiliki hak untuk berpendapat hanya seyogyanya lebih bijak dan menggunakan bahasa yang santun. Tentunya kita masih bisa me-review produk atau layanan jasa secara obyektif dengan jujur, tanpa niat menjatuhkan usaha tersebut.
Melakukan kritik terhadap kebijakan publik juga sah-sah saja asal menggunakan data yang akurat dan bahasa yang lugas. Apabila merasa was-was maka kita bisa menyampaikan opini kita di media yang kredibel.
Hanya memang bisa saja ada pihak yang merasa dirugikan oleh opini kita. Berdasarkan kasus-kasus yang pernah terjadi, ada beberapa korban yang malah dilaporkan dan didakwa, ketika mereka bersuara, seperti kasus Prita, Baiq Nuril, dan kasus wartawan yang melaporkan dugaan korupsi yang dilakukan seorang kepala daerah. Inilah yang mencemaskan.
Mungkin antisipasinya kita menyampaikan kritik langsung ke pihak yang dituju atau juga bisa ke kolom pembaca yang biasanya ada di media. Biasanya lembaga juga pemerintah menyediakan fasilitas whistleblowing system dengan opsi anonimitas dan perlindungan terhadap si pelapor. Ini bisa kita gunakan jika kita ingin melaporkan sesuatu yang merugikan kita.
Lantas bagaimana dengan tingkat kebebasan berpendapat Indonesia di tingkat global? Berdasarkan survei pada tahun 2020 berdasarkan the Global State of Democracy Indices, Indonesia berada di posisi yang rendah dengan skor 0.53, masih di bawah Afghanistan (0.54), dan Ukraina (0.57) dan skornya sama dengan Myanmar (0.53). Skor ini sangat jauh dengan negara yang memiliki skor tertinggi yakni Denmark yang memiliki skor 0.95.
Ada 116 indikator yang diukur dengan delapan indikator tentang kebebasan berpendapat. Indikator kebebasan berpendapat di antaranya apakah pemerintah melakukan sensor media, apakah ada konten internet yang difilter, dan apakah masyarakat merasa aman berpendapat.
Penghakiman Massal Secara Sepihak
Hal lainnya yang juga dikuatirkan adalah tentang tindakan represif. Jika dilihat di ranah medsos, mulai ada kecenderungan ‘penghakiman massal’ secara sepihak di ranah medsos oleh sekelompok orang yang sepertinya dikerahkan untuk menyerang orang yang berani berpendapat atau pendapatnya berbeda dengan yang didengungkan kelompok tertentu. Ada kalanya penghakiman dilakukan kepada seseorang atau sekelompok orang berdasarkan informasi yang disampaikan oleh netizen lainnya tanpa adanya klarifikasi terlebih dahulu.
Hal ini mulai mencemaskan. Oleh karena serangan kelompok tersebut selain dengan kata-kata kasar yang menyerang mental, juga ada kalanya menyebarkan data pribadi alias doxing yang bisa merugikan pihak yang beropini tersebut. Pihak yang dihakimi secara sepihak sering kali mengalami kerugian karena jarang diberi kesempatan untuk membela diri.
Tentang penghakiman masal secara sepihak di ranah medsos ini semakin mengkuatirkan. Ini sama meresahkannya dengan represi terhadap kebebasan berpendapat. Oleh karena bisa saja kita tidak tahu apabila tiba-tiba kita menjadi sasaran pihak tertentu. Ada yang melaporkan kita terkait dengan opini kita ke kepolisian atau tiba-tiba kita dihakimi secara masal di medsos.
Harapan saya semoga iklim demokrasi di Indonesia kembali membaik. Pemerintah serius untuk melakukan revisi terhadap UU ITE dan mengembalikan suasana demokrasi yang nyaman, aman, dan bertanggung jawab.
Gambar dari pixabay dan remotivi
Referensi:
- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/04/05/survei-indikator-ungkap-masyarakat-semakin-takut-menyampaikan-pendapat
- https://aptika.kominfo.go.id/2022/09/ahli-hukum-dan-akademisi-nilai-revisi-uu-ite-persempit-ruang-multitafsir/
- https://www.remotivi.or.id/kabar/391/para-pencari-keadilan-digital
- https://worldpopulationreview.com/country-rankings/countries-with-freedom-of-speech
Yah gimana lagi. Saya blogger, bukan jurnalis media, meskipun apa yang saya tulis — menurut rasa saya — bukan penghinaan maupun fitnah, toh saya tak punya payung perlindungan. Berbeda dari media yang dinaungi Dewan Pers.
Memang sih saya bisa mengadu ke SAFEnet, LBH, dan organisasi sipil lainnya tapi yang saya alami, misalnya terjadi, pasti berat, dari peretasan sampai persekusi.
Ehm pasal di UU ITE masih dianggap pasal karet karena bisa diintepretasikan berbeda. Oleh karenanya patut berhati-hati. Lebih baik disampaikan ke SAFENet dan lainnya jika dirasa informasi yang akan dibagikan itu bisa mengguncang pihak tertentu. Atau bisa berkonsultasi dengan orang hukum. Tetap berhati-hati ya.
Kudu tahan diri,
kemarin saya menertawakan sikap isilop di tragedi bola saja, langsung ditanya referensi.
Dan ternyata yang komen adalah BIN
Wah harus makin berhati-hati ya. Entah kenapa aku juga belakangan mulai was-was jika beropini tapi kurang data.