Stroberi
Kata Acha Septriasa dalam sebuah film, hidup itu seperti stroberi. Seringnya asam dan segar. Benar juga sih. Jarang sekali kutemukan stroberi yang rasanya manis. Tapi menariknya, buah ini jadi terasa istimewa ketika dipadukan, dengan susu, krim, ataupun adonan cake.
Dulu kami pernah dua kali menanam stroberi di pot di halaman rumah. Dua-duanya gagal dan tak pernah menghasilkan buah. Mungkin hawa dan tanah di rumah Malang masih kurang cocok untuk bertanam stroberi. Padahal waktu itu aku sangat berharap punya tanaman stroberi.
Aku suka tergoda menyantap stroberi gara-gara penampilannya yang cantik menggoda. Tapi sayangnya, aku juga sering tertipu, karena rasanya tak seenak penampilannya. Seringnya asam jarang sekali dapat yang manis segar.
Tapi ada momen-momen tertentu aku merindukan asam segar dari stroberi. Aku tak gentar menghadapi asamnya. Malah aku merindukannya.
Bukankah hidup itu adakalanya seperti stroberi. Ada banyak kejutan. Tak ketahuan apa yang bakal terjadi dari penampilannya, apakah manis atau bakal asam seasam-asamnya.
Setelan mencicipi langsung stroberi, bukan sebagai klaim rasa oleh produsen makanan dan minuman, persepsi saya berubah. Begitu mendengar atau membaca kata stroberi langsung terbayang rasa asam. 😁
Dulu waktu kecil lihat stroberi itu kupikir rasanya kayak enak banget. Pas dibelikan ibu lalu kaget dengan rasanya, kok asam banget.