Legong: Dance of the Virgins, Film tentang Bali tahun 1935
Puspa, kamu harus sering-sering nonton film klasik. Banyak film lawas yang bagus. Saran ini kuturuti. Dalam seminggu, kuupayakan menonton sebuah film klasik. Tujuannya sederhana, untuk menambah perbendaharaan dan pengetahuanku akan film. Kali ini aku akan membahas film lawas yang dirilis tahun 1935 berjudul Legong: Dance of the Virgins.
Seperti bisa ditebak dari judulnya, film ini berlatar di Bali. Semua pemerannya warga lokal Bali, hanya kru filmnya yang dari Hollywood. Sutradaranya adalah sutradara asal Prancis, Henri de La Falaise (The Royal Bed, The Woman Between, dan Transgression). Naskah ditulis oleh Hampton del Ruth.
Selama sekitar 65 menit penonton diajak menyelami kisah dua kakak beradik yang menginjak masa-masa untuk siap menikah pada tahun-tahun tersebut. Keduanya adalah Putu (Poetoe Aloes Goesti) dan Saplak (Saplak Njoman), putri dari (Gusti Bagus) Bagus Mara Goesti.
Putu dan Saplak adalah penari selain berjualan di pasar. Suatu ketika di sebuah pertunjukan, Putu jatuh hati kepada Nyong (Njong Njong Njoman). Si ayah kemudian mengundang Nyong ke rumahnya. Tapi dalam perjalanan menuju rumah Putu, Nyong melihat Saplak yang sedang mandi dan langsung jatuh cinta kepadanya.
Ceritanya sederhana, tentang cinta yang tak sampai. Namun kemasannya jadi menarik karena film ini dibuat pada tahun 1930-an. Visualnya cukup bagus, gambarnya nampak hidup dan halus setelah direstorasi. Film jnj menggunakan teknik two-color technicolor, sehingga gambarnya telah berwarna, tidak lagi hitam putih, meski warnanya juga masih terbatas. Film ini juga disebut film bisu terakhir yang diproduksi Hollywood.
Dalam film ini penonton bisa melihat kehidupan dan tradisi masyarakat Bali saat itu. Nyaris tak ada bedanya dengan saat ini kecuali perempuan Bali pada masa tersebut kebanyakan tidak menutupi bagian atas tubuhnya. Alhasil film ini mengejutkan audiens Amerika dan negara-negara lainnya. Uniknya bagian tersebut tidak disensor seperti pada umumnya, karena dianggap budaya lokal dan bisa menjadi kajian antropologi
Dalam film ini terlihat tari Legong dan tari Barong. Kemudian ada sabung ayam dan prosesi upacara Ngaben. Pasar tradisionalnya sangat sederhana. Tempat pemandiannya juga khas, dengan beberapa pancuran seperti yang juga bisa ditemui di beberapa tempat di Bali saat ini. Bali masa itu masih nampak begitu asri dan lengang.
Oh iya film ini bisu, sehingga tak terdengar dialog antar pemain. Namun di tiap transisi ada gambar berisi teks penjelasan sehingga penonton bisa memahami ceritanya. Tapi sebenarnya tanpa narasi tersebut, penonton relatif masih bisa memahami ceritanya.
Coba kalian tonton film ini. Kalian akan bisa merasai suasana Bali pada tahun 1935. Oh iya film ini diproduksi oleh Bennett Pictures dan didistribusikan oleh Paramount Pictures. Di luar keterkejutan penonton akan kostum pemainnya, film ini meraih pujian, terasa puitis, tragis, dan kental akan tradisi.
Sumber gambar: Milestone Films dan IMDb