Sego Abang, Sego Jagung, dan Tiwul Gatot Wujud Keanekaragaman Pangan Lokal
Sego abang dan cabe ijo? Aku membaca menu khas Sleman, Gunungkidul dengan antusias dan rasa penasaran. Cabe ijo yang dimasak seperti sayur lodeh, dengan santan, aku menyukainya. Nenekku dulu suka membuatnya. Tapi bila disantap dengan sego abang alias nasi merah, aku belum pernah merasainya. Sepertinya menarik dan patut dicoba.
Seusai bermain air di Gua Pindhul dan dilanjutkan dengan susur beberapa pantai di Gunungkidul, kami menyempatkan diri singgah di sebuah tempat makan yang menyajikan sego abang cabe ijo. Malang nian, menu tersebut sudah habis. Hei laris banget.
Niatku menyantap sego abang kemudian terwujud beberapa kali di bertahun-tahun kemudian. Waktu itu aku kembali ke Yogyakarta dan sempat mengikuti acara trekking ke Gunung Nglanggeran. Paginya kami sarapan dengan rebus-rebusan, pisang, jagung, ubi, dan singkong rebus. Makan siangnya kami dijamu dengan sego abang. Klop deh.
Gunung api purba ini terletak di Patuk yang masuk daerah Gunungkidul. Sehingga, sego abang juga masih menjadi ciri khas masakan daerah tersebut. Sego abang ini disajikan dengan urap-urap daun pepaya, wortel, dan ragam sayur lainnya. Lalu ada lauk ikan asin, tempe tahu, dan ayam kampung goreng. Plus sambal.
Disantap ketika lelah usai mendaki, serta diiringi hembusan angin yang sejuk, rasanya bersantap siang ini terasa menyenangkan. Sedap.
Sego abang adalah salah satu jenis wujud keragaman pangan berbasis lokal. Ia sudah populer di daerah ini, jauh sebelum kemudian menjadi tren di kalangan pecinta makanan sehat.
Inilah wujud kearifan lokal. Daerah Gunungkidul pada masa dulu sering kekeringan. Padi varietas beras merah sendiri cocok ditanam di daerah yang relatif kering (gogo). Kadang-kadang petaninya melakukan tumpang sari dengan tanaman singkong dan jagung.
Nasi merah sendiri memang lebih berserat dan kesat apabila dibandingkan dengan nasi putih. Rasanya cenderung lebih manis dengan aroma yang khas.
Nasi merah alias sego abang kaya akan antioksidan, vitamin, dan mineral. Karena kaya serat dan kadar glikemiknya rendah, maka sego abang cocok bagi mereka yang ingin mengontrol berat badan dan bergaya hidup sehat.
Namun perlu kecerdikan untuk memadupadankan sego abang. Ia lebih cocok disantap dengan tumisan sayuran atau urap-urap dengan lauk pauk yang cenderung kering alias tanpa kuah. Namun jangan kuatir, disantap dengan ‘jangan’ lombok alias sayur cabe ijo atau urap-urap plus iwak asin, rasanya sudah begitu sedap.
Sego abang memang mantap, tapi ada juga sego lainnya yang membuatku berkesan. Ia adalah sego jagung.

Sego jagung dijumpai di Jawa Timur terutama di Madura (sumber gambar: sajiansedap.grid.id)
Waktu kecil, rasanya tak begitu susah mendapatkan sego jagung. Bude atau kakak ibu kadang-kadang membawakan kami sego jagung dalam jumlah banyak, dengan sayur dan lauk pauk sederhana.
Dulu waktu masih kecil, aku tak suka. Namun, ketika mulai beranjak dewasa, aku malah ketagihan. Sayangnya di Malang makin susah mendapatkannya. Ia dulu banyak terdapat di daerah asalnya, Madura, dan daerah-daerah tapal kuda yang banyak masyarakat Maduranya seperti Probolinggo. Tapi memang sekarang penjual sego jagung tak sebanyak dulu.
Sego jagung juga merupakan pangan lokal dan bersumber dari kearifan lokal jaman dulu. Pada masa itu, nasi putih lebih mahal daripada jagung. Sedangkan jagung lebih mudah ditanam, ia bisa tumbuh di daerah yang relatif kurang banyak air seperti Madura.
Seperti namanya, sego jagung adalah nasi yang berbahan dasar dari jagung. Oleh karenanya warnanya kuning. Namun ada juga yang mencampurnya dengan beras putih, sehingga menjadi percampuran nasi putih dan nasi jagung.
Sego jagung ini ada yang menyebutnya empok, empog, atau ampok. Jagung yang digunakan adalah jagung pipil yang tua. Di pasar biasanya jagung ini relatif lebih murah. Setelah dicuci bersih dan direndam, maka jagung bisa ditanak untuk menjadi nasi, baik dicampur beras putih, atau jagung saja.
Sego jagung ini bisa dipadupadankan dengan banyak lauk dan sayuran. Tapi sama dengan sego abang, lebih enak yang tak banyak berkuah. Disantap dengan urap dan iwak asin alias ikan asin duh uenak tenan (enak banget).
Sego jagung ini kaya akan vitamin, serat, dan mineral. Ia kaya akan zat magnesium, mineral yang diperlukan oleh tubuh kita.
Keanekaragaman Pangan Lokal yang Tersebar
Di penjuru nusantara lainnya, ada banyak cara masyarakat setempat beradaptasi dengan iklim dan kondisi tanah mereka. Mereka juga memanfaatkan pangan lokal sehingga tak bergantung pada beras putih.
Tentunya kita ingat ada yang menggunakan sagu seperti masyarakat Maluku, papeda di Papua, aneka umbi di berbagai daerah, juga bubur aneka sayuran dengan ubi seperti bubur tinutuan di Manado. Nasi dari singkong alias gaplek juga masih ditemui di daerah Gunungkidul dan Malang selatan.
Di Malang, kampung halamanku, jajanan dari singkong seperti gatot, tiwul, dan horok-horok masih bisa dijumpai. Ketiganya jajan tradisional yang kaya serat dan mengenyangkan. Sehingga jajanan ini juga pas sebagai pengganti sarapan. Ada juga bledhus atau jagung pipil yang dikukus dan disajikan dengan parutan kelapa dan sedikit garam. Rasanya enak dan bikin kenyang.
Dengan memanfaatkan pangan lokal maka sebenarnya masyarakat tak perlu bergantung pada beras putih. Kita juga bisa lebih kreatif memadupadakan makanan. Inilah keragaman pangan kita. Diversifikasi pangan adalah kunci ketahanan pangan.
Salah satu cara memelihara keanekaragaman pangan ini yaitu dengan menjaga lingkungan hidup kita. Tanaman sagu kita lestarikan, demikian juga dengan padi beras merah, aneka umbi-umbian, jagung, dan sebagainya. Jangan semuanya dipaksa untuk ditanami padi beras putih.
Hemm aku jadi ingin santap sego jagung nih. Nasi jagung, urap sayur, dan ikan asin, wah rasanya pas untuk merayakan hari jadi kemerdekaan negara ini.
Selamat hari merdeka!