Tibet dan Perjalanan Spiritual
Ayah dulu pernah mencari-cari komik Tintinnya yang berjudul “Menuju Tibet”. Komiknya entah dipinjam siapa dan tak kembali. Entah kenapa kata Tibet itu merasuk ke dalam diriku yang masih kecil saat itu. Sejak itu aku berangan-angan ke Tibet suatu waktu.
Tibet dan spiritual. Bagiku perjalanan itu bukan hanya sekadar wisata atau menambah portofolio tempat yang pernah kukunjungi. Namun juga memberikan pengalaman spiritual dalam sesuatu yang umum.
Dan selama perjalanan menuju Tibet ada banyak hal yang menurutku memberikan khazanah spiritual meskipun tidak selalu spiritual dari sisi agama yang kupeluk.
Seorang kawan yang kukenal di Couchsurfing di Bengaluru India di suatu waktu yang lampau, mengajak kami berdua ke kuil megah yang disebut Hare Khrisna. Itu adalah sebuah kuil besar untuk mengagungkan Khrisna sebagai salah satu dewa.
Aku tidak mengikuti ritualnya, namun di sini aku merasakan suasana yang adem seperti yang biasa kujumpai di tempat ibadah. Dan konsep tempat ibadah ini adalah all in one atau one stop shop. Jadi di sini juga ada teater yang membuat kisah Krisna dalam bentuk animasi, juga ada toko-toko cinderamata. Di sinilah aku merasai ladu yang disukai oleh Bima. Oh rasanya begitu manis.
Bengaluru adalah kota yang sibuk. Mode transportasinya kaya ragam, dari bus seperti kopaja masa lampau juga bus yang cantik. Juga ada bajai dengan menggunakan argo. Taksinya ooh mereka gemar sekali mengklakson.
Dari Bengaluru kami menuju New Delhi untuk kemudian menuju ke Manali. Ibukota India saat itu tak seperti bayanganku. Aku seperti memasuki mesin waktu ke Jakarta masa lampau.
Ada kejadian di pesawat yang kukenang, membuatku langsung mual hanya sekadar mengingatnya. Nah di Delhi aku juga berjumpa kawan yang baik dan sangat membantu.
Aku tak sampai ke Tibet. Aku hanya sampai ke Manali, India Utara yang memiliki gunung bersalju. Tapi di sini ada Museum Himachal Pradesh yang menyajikan koleksi budaya Tibet. Juga tak sedikit warga yang merupakan orang Tibet.
Di sungai-sungai di lembah menuju Manali kulihat banyak bendera yang dihias seperti tujuhbelasan. Ini seperti yang kulihat juga ada di Tibet.
Di penginapan yang kusewa, kokinya adalah orang Tibet. Ia menyajikan makanan non daging seperti nasi goreng jamur yang rasanya enak dan porsinya besar sehingga bisa disantap untuk dua orang. Lalu roti canainya dan chai alias teh susunya juga sedap. Aku puas bersantap di sini.
Kembali ke soal spiritual, aku menjumpai dua kuil. Salah satunya adalah kuil Hadimba alias kuil untuk mengagungkan Dewi Arimbi, istri Bima. Di sini juga ada petilasan Gatotkaca.
Aku melihat-lihat isi kuilnya dan kemudian memperhatikan para peziarah. Sebuah kuil yang di sekelilingnya dipenuhi pepohonan besar dan tinggi. Suasana terasa adem dan nyaman. Aku merasa tentram di sini.
Sebelum kembali ke penginapan, kami duduk-duduk di tepi sungai yang jernih. Sekelilingnya juga pepohonan yang rindang dengan hawa yang sejuk. Nun jauh di sana ada taman nasional yang nampak hijau.
Dalam imajiku aku membayangkan para Pandawa yang menuju Himalaya dalam adegan Pandawa Seda. Mereka setelah Baratayuda, merasa sedih meskipun di pihak yang menang. Dari kerajaan Indraprasta ataupun Hastina ke sini lalu menuju puncak Himalaya pastinya masih jauh. Apalagi dengan berjalan kaki.
Sepuluh hari ke India kami pungkasi dengan melancong ke Agra. Lagi-lagi kami disambut kawan baru yang baik. Memang tak semua cerita perjalananku di India itu indah, ada yang mencekam, juga ada yang membuat kami kesal, kecewa, dan marah. Namun setidaknya aku melangkah separuh jalan ke Tibet. Aku juga mendapatkan wawasan spiritual dalam artian umum.
Ketika melihat salju, aku kembali membayangkan sebuah perjalanan panjang. Mungkin suatu ketika kami bisa mencobai Trans Siberia, singgah ke Mongolia dan Rusia.
Gambar dari IMDb