Kecewa dengan Adaptasi “The Sandman”
Sebagai salah satu penggemar Neil Gaiman, meski belum punya dan mengikuti “The Sandman”, aku punya harapan besar akan serial ini. Apalagi cerita “The Sandman” disebut sebagai salah satu karya ikonik Neil Gaiman. Tapi setelah empat episode aku kecewa, rasanya adaptasinya mediocre, sangat tidak maksimal.
Aku mengoleksi berbagai buku karya Neil Gaiman. Yang kupunya pertama adalah “Coraline” yang kemudian diadaptasi menjadi sebuah animasi horor yang banyak menari pujian. Kemudian ada “Interworld”, “Neverwhere”, dan “Anak-anak Anansi”. Lalu baru kutahu kalau “Stardust” juga merupakan karya Neil Gaiman. Oleh karenanya ketika ada serial Netflix dari Neil Gaiman, aku semangat.
Serial “The Sandman” yang tayang di Netflix mengisahkan siapakah Sandman dan dunianya. Dikisahkan ada orang kaya yang dijuluki Magus (Charles Dance) ingin menangkap bangsa Endless agar bisa menghidupkan anaknya yang meninggal. Ia bekerja sama dengan seseorang yang juga kehilangan putranya. Setelah mereka melakukan ritual, seorang bangsa Endless tertangkap. Rupanya ia adalah Morpheus alias Dream (Tom Sturridge).
Meskipun harapan mereka sebenarnya adalah mengurung Death, tapi mereka sudah senang dapat menangkap Dream. Mereka mengambil pasir, helm, dan batu mirah yang merupakan sumber kekuatannya. Ia lalu dikurung hingga 70 tahun, sebelum ia kemudian dapat bebas karena keteledoran penjaga dan orang-orang di sekitarnya.
Semenjak Dream tertangkap terjadi kekacauan baik di alam mimpi maupun di manusia. Muncul serangan penyakit tidur di dunia manusia. Ada yang tidak bisa bangun, hanya ingin tidur panjang. Sedangkan di alam mimpi, dunia yang dibangun oleh Dream pun hancur. Dream hanya memiliki Lucienne. Gagaknya yang setia juga telah tewas. Lucienne kemudian menawarkan gagak bernama Matthew.
Maka mulailah Dream mencari peralatannya. Ia mencari di mana pasir, helm, dan batu mirahnya. Perjalanannya membuatnya berkeliling ke dunia manusia, neraka, dan tempat-tempat lainnya.
Premisnya nampak menarik dan menjanjikan. Namun sayangnya adaptasinya mengecewakan. Padahal ada beberapa pemeran yang cukup beken seperti Charles Dance dan Gwendoline Christie dari serial “Game of Thrones” dan David Thewlis.
Beberapa CGI dan make up terasa kurang halus. Ceritanya di beberapa bagian agak dipaksakan dan malah membuat frustasi penonton. Namun bagian yang terasa sangat berlebihan adalah agenda woke, dimana sebagian karakter dipaksakan memiliki hubungan sejenis. Memang sih serial Netflix sudah banyak sisipan agenda woke, tapi di serial ini terasa berlebihan.
Selain itu ada banyak race swab, dari yang di cerita adalah kulit putih menjadi kulit berwarna. Mungkin alasannya adalah diversifikasi atau keberagaman, tapi kok lama-kelamaan keblinger ya. Kenapa tidak menciptakan karakter baru yang berbeda ras, daripada mengubah ras dari cerita orisinilnya. Mungkin bagian terbaik adalah The Corinthian yang mirip dengan yang ada di komik.
Iya adegan serial netflix bnyk agenda adegan gitu…tp.kesannya maksa. Mungkin biar masuk aja kyk iklan. Kl iklan biasanya ku skip skip..
Ehm iya, pesan woke itu suka dipaksakan dan berlebihan di Netflix.