Gelombang Gelembung Lumbung, Pertunjukan Teater tentang Pencarian Jati Diri yang Kaya Unsur Simbolis
Gelombang itu alur perjalanan manusia yang tak dapat ditebak. Sedangkan gelembung adalah kita yang rapuh, sesekali kekanakan, tapi juga perlu mendapat pelukan. Sementara lumbung menjadi simbol energi yang memberi kita tenaga untuk hidup dan membantu menyelesaikan permasalahan.
Sebulan yang lalu, tepatnya 8 Oktober 2022, aku menyaksikan dua pertunjukan teater di Taman Ismail Marzuki. Pertunjukan pertama tentang masa Jawa klasik, era Singosari dan Majapahit yang dibawakan dalam bahasa Jawa kuno. Sedangkan pertunjukan kedua merupakan pertunjukan kontemporer modern.
Maraton dua pertunjukan teater dalam sehari, wah aku sudah kembali jadi anak teater lagi. Dulu aku pernah merasai tiga tahun jadi anak teater saat SMA wkwkwk. Waktu kuliah, lalu jadi kuli tinta dan pegawai kantoran, aku juga lumayan sering nonton pertunjukan teater. Setelah TIM direnovasi, ini baru kali pertama aku menyaksikan pertunjukan lagi setelah sekian lama.
Pertunjukan pertama tentang Gayatri telah pernah kubahas di Kompasiana. Kali ini aku akan membahas pertunjukan kedua yang kusaksikan malam hari di Teater Kecil TIM.
Gelombang Gelembung Lumbung, judulnya. Pementasan ini dilakukan grup Teater Confeito dalam rangka malam final Festival Teater Jakarta. Sutradara dan penulis naskah dramaini adalah Heri Purwoko.
Pementasan ini terdiri dari empat fragmen. Setiap transisi fragmen ada percakapan suami istri yang membahas hal-hal sehari-hari.
Percakapan tersebut hanya terdengar suaranya. Sementara di layar muncul dialog yang sering kali tak seperti yang diucapkan. Dialog di layar adalah versi jujur, sedangkan dialog yang diperdengarkan adalah versi yang ingin didengar orang lain, yang biasanya lebih berbunga-bunga.
Fragmen pertama menampilkan beberapa sosok yang seperti gelembung. Lalu munculnya sosok anak laki-laki (Achmad Humaidy) yang nampak kebingungan mencari ibunya. Ia terus berteriak-teriak “Umi!” Lalu resah dan lelah ketika tak menemukannya.
Di fragmen kedua, nampak sosok nenek (Nadjela Amaly) yang asyik menjelajah bukit. Ia memberi makan ayamnya. Di sisi panggung berbeda ada beberapa sosok berwarna-warni yang nampak terus gelisah bergerak.
Si nenek lalu ditantang oleh angin (Hikmah Usman) . Si nenek terus berkata ia adalah pemilik perbukitan tersebut, hingga ia kalah.
Fragmen ketiga tentang nelayan (Septiadi)yang kapalnya rawan karam karena badai. Ia nampak mulai menyadari kebodohannya dan menyesalinya.
Fragmen keempat tentang anak laki-laki dan seorang pria dengan lumbungnya. Tiba-tiba lumbungnya diserang ayam warna-warni termasuk dirinya. Si anak laki-laki pun berlari ketakutan.
Tidak mudah memaknai pertunjukan ini karena penuh simbol. Seusai pentas, kami mendiskusikan simbol-simbol yang ada dalam tiap fragmen. Ayam warna-warni itu maksudnya apa ya? Ada yang bisa nebak?
Akting Humaidy dan pemeran nenek patut dipuji. Maidy rela berdandan seperti manusia purba. Sedangkan performa si nenek itu konsisten. Tak mudah tampil konsisten sebagai nenek di atas panggung, dari gestur tubuh dan suara.
Koreografi gelembung juga enak dilihat. Dalam pertunjukan ini aku memberikan dua jempol untuk konsep visualisasi panggungnya. Kreatif. Properti panggung dan grafisnya cakep. Sound-nya cukup jernih dan musiknya bisa menggiring dan mendramatisasi suasana.
Ada beberapa simbol yang bikin aku mikir dan menebak-nebaknya. Intepretasi tiap penonton bisa jadi berbeda sih.
Oh iya Gelombang Gelembung Lumbung berhasil meraih empat nominasi di babak final ini. Mereka berhasil meraih nominasi kategori tata kostum, tata cahaya, manajemen panggung, dan materi publikasi. Wah selamat ya.
Gambar dari IG Teater Confeito dan dokumen pribadi